9 Juni 2022 Yogyakarta 1

Swakelola Perlu Disinergikan antara Pemerintah dan Masyarakat Sipil

Potensi Kemitraan Pemerintah dan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) itu sangat mungkin dilakukan, bahkan kemungkinan besar sudah pernah dilakukan sebelumnya. Mekanisme Swakelola[1] yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) no. 12 tahun 2021 tentang Perubahan Perpres no. 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Peraturan LKPP no. 3 tahun 2021 tentang pedoman Swakelola, dan Peraturan LKPP RI no. 11 tahun 2021 tentang Pedoman Perencanaan PBJ Pemerintah.

Swakelola sendiri terdiri dari 4 tipe, di mana yang paling familiar adalah Swakelola Tipe I[2] dan Tipe II[3], yang sudah sering digunakan. Sedangkan Swakelola Tipe III[4] dan Tipe IV[5] lebih jarang, tetapi perlu kita dorong, walau secara esensi kerjasama pemerintah dan masyarakat sipil dapat dilakukan dalam bentuk apa saja.

Salah satu isu terhambatnya Kerjasama antara pemerintah dan OMS lokal adalah kurangnya pemahaman terkait Swakelola, baik dari pemerintah itu sendiri maupun dari OMS. Oleh karena itu Indonesia AIDS Coalition (IAC) melakukan Mentoring and Monitoring Visit Social Contracting asistensi Teknis terkait Swakelola. Pertemuan itu diselenggarakan di 6+1 distrik dampingan IAC yang sebelumnya telah dipilih dari hasil Assessment. Satu distrik tambahan merupakan wilayah yang dinilai telah berhasil dalam melakukan swakelola. Distrik itu bernama Yogyakarta.

Dalam pertemuan di Yogyakarta, turut dihadiri oleh beberapa Lembaga terkait seperti Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi DIY, Dinkes Kota Yogyakarta, Dinkes Kab. Sleman, Dinkes Kab. Kulonprogo, Dinkes Gunung Kidul, Dinkes Kab. Bantul, Dinas Sosial (Dinsos) Provinsi DIY, Asosiasi Dinas Kesehatan (Adinkes), Yayasan Victory Plus, Yayasan Vesta, Rumah Kebaya, PKBI DIY, KPA DIY, dll. Selain dilakukan presentasi sosialisasi Swakelola, juga ada sharing pengalaman kemitraan lewat mekanisme Swakelola Tipe III dari Perkumpulan IDEA (Ide dan Analitika Indonesia), yang sudah pernah mengelola dana pemerintah.

Selain itu, dalam pertemuan ini juga diadakan diskusi dengan OMS local untuk mendorong perubahan mindset yang signifikan untuk meningkatkan kemampuan organisasinya sehingga mampu untuk mengelola dana pemerintah. Pertemuan ini menegaskan bahwa kemitraan antara pemerintah dan OMS lewat mekanisme Swakelola sangat mungkin dilakukan dan bahwa kemitraan ini sangat penting dan bermanfaat bagi kedua belah pihak.

Sedangkan kamus besar Bahasa Indonesia mengartikan kata swakelola adalah pengelolaan sendiri. Perpres 16 Tahun 2018 pada pasal 1 angka 23, menjelaskan bahwa swakelola adalah cara memperoleh barang/jasa yang dikerjakan sendiri oleh Kementerian/Lembaga/ Perangkat Daerah/Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah Lain, organisasi kemasyarakatan, atau kelompok masyarakat.

Adapun salah satu isu lainnya yang melandasi kunjungan Tim ke Yogyakarta adalah untuk meluruskan kendala yang dihadapi Victory Plus dengan kerjasama pihak ketiga bersama Dinskes Kota. Lewat pertemuan ini teridentifikasi 2 hal yaitu:

  • Pada awalnya pihak Victory Plus hanya bermaksud untuk meminta MoU kerjasama untuk mengantar kerja lapangan mereka tanpa ada implikasi biaya.
  • Pihak Dinkes kemudian berinisiatif membuka kesempatan kerjasama dengan meminta konsep program yang dapat dikerjasamakan.

Kesimpulannya adalah, permintaan konsep program/kegiatan yang diminta oleh Dinkes Kota dimaksudkan untuk menjadi usulan program di Dinkes saja. Beberapa OMS juga teridentifikasi melakukan hal yang sama, yaitu KPA Provinsi dan PKBI. Rekomendasi Tim kepada Victory Plus adalah merancang grand design program yang dibutuhkan, lengkap dengan latar belakang dan outcome indicator yang komprehensif, yang dapat ditawarkan kepada Dinkes Kota, yang harapannya menjadi masukan bagi pengembangan program mereka ke depannya.

Selain workshop Swakelola, Victory Plus juga berkesempatan mengikuti audiensi dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi DIY sehingga dapat melihat secara langsung proses lobby dan audiensi. Serta menyampaikan isu utama yang menjadi fokus perhatian dari Yayasan itu sendiri. Lebih lanjut, audiensi yang ditemui oleh Kordinator Sub Bidang Kesejahteraan Rakyat menghasilkan beberapa pengetahuan baru yaitu:

  1. Perencanaan anggaran Daerah dimulai 1 setengah tahun sebelum tahun anggaran, dengan mekanisme tertentu, dimana Bappeda hanya berkuasa untuk menjadi fasilitator antara stategi, kegiatan, dan pagu. Produk yang dihasilkan dari proses ini adalah Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).
  2. Pihak yang berwenang menentukan strategi intervensi tahunan adalah sekertaris daerah. Sementara yang berwenang memberikan usulan kegiatan adalah OPD itu sendiri. RKPD ini kemudian akan direview oleh Rakortekbang (Rapat Kordinasi Teknis Pembangunan) Nasional dan Daerah. Serta melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak awal perencanaannya. Sehingga perubahan-perubahan yang tidak sesuai perencanaan yang disepakati dapat menjadi temuan KPK.
  3. Tugas utama Bappeda adalah: koordinasi dan arahan bagi daerah-daerah, monitoring dan evaluasi, serta mendorong terlaksananya Standar Pelayanan Minimal (SPM). Sementara anggaran-anggaran kegiatan ada di ranah kota/kabupaten.
  4. Hambatan utama dari swakelola adalah:
  • Kultur Lembaga, yaitu masih menganut pola lama, tidak terbiasa bekerja sama dengan OMS, pemahaman bahwa OMS tidak mampu melaksanakan program, serta ketidakpercayaan dengan OMS itu sendiri.
  • Adanya kemungkinan terjadinya KKN atau terciptanya OMS-OMS baru yang dibentuk baik oleh perusahaan maupun oknum pemerintahan sendiri untuk dapat mengakses dana pemerintah atas nama Swakelola.
  • Alur pencairan dana pemerintah dengan mekanisme termin, mungkin akan menyulitkan OMS yang tidak mempunyai dana talangan.

Pada kesempatan itu juga, Bappeda menjelaskan potensi-potensi kerjasama pemerintah dan OMS, yaitu lewat kegiatan-kegiatan kajian serta sosialisasi masyarakat. Sementara poin entry advokasi yaitu lewat OPD-OPD terkait. Misalnya Biro Germas, Biro Mental, Balitbangda, dan sebagainya. Sedangkan untuk advokasi strategis dapat langsung menyasar Sekretaris Daerah (Sekda).

Penulis AB Santoso
[1] Pada perbendaharaan kata bahasa jawa, swakelola merupakan kata majemuk yang terdiri dari dua kata, yaitu swa artinya sendiri dan kelola artinya mengatur. Dengan demikian kata swakelola memiliki pengertian mengelola sendiri.
[2] Swakelola Tipe I, penyelenggara memiliki sumber daya yang cukup dan kemampuan teknis untuk melaksanakan swakelola. Pelaksanaan dilakukan oleh Badan Layanan Umum, Badan Layanan Umum Daerah dan perguruan tinggi Negeri yang merupakan bagian dari Kementerian/Lembaga penanggung jawab anggaran.
[3] Swakelola Tipe II, penyelenggara memiliki sumber daya yang cukup dan kemampuan teknis untuk menyediakan barang/jasa yang diswakelolakan. Penyelenggara sama dengan Swakelola Tipe I.
[4] Swakelola Tipe III dilaksanakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat/Organisasi Masyarakat Sipil.
[5] Swakelola Tipe IV dapat dilihat di Lampiran Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah RI No. 3 tahun 2021 tentang Pedoman Swakelola.

Share this post

On Key

Related Posts

Artikel

Edukasi HIV “Aku Bangga, Aku Tahu”

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia memiliki program untuk mengadakan edukasi tentang HIV/AIDS ke kampus-kampus, dengan maksud para peserta yang mengikuti edukasi ini dapat menjadi orang-orang yang

Read More »

Swakelola Perlu Disinergikan antara Pemerintah dan Masyarakat Sipil

Potensi Kemitraan Pemerintah dan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) itu sangat mungkin dilakukan, bahkan kemungkinan besar sudah pernah dilakukan sebelumnya. Mekanisme Swakelola[1] yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) no. 12 tahun 2021 tentang Perubahan Perpres no. 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Peraturan LKPP no. 3 tahun 2021 tentang pedoman Swakelola, dan Peraturan LKPP RI […]

want more details?

Fill in your details and we'll be in touch