Latar Belakang
Secara garis besar, pekerjaan perawatan adalah segala bentuk upaya produksi barang dan jasa demi memenuhi kebutuhan fisik, sosial, psikologis, maupun emosional bagi mereka yang membutuhkannya; termasuk pasien, lansia, anak-anak, penyandang disabilitas, maupun individu yang sehat dan bekerja.
Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO) mengklasifikasikan pekerjaan perawatan menjadi dua janis, yaitu pekerjaan perawatan langsung dan tidak langsung. Pekerjaan perawatan langsung mengacu pada perawatan yang melibatkan kontak langsung, seperti mengasuh anak, merawat pasangan yang sakit, maupun merawat lansia. Sementara pekerjaan perawatan tidak langsung meliputi kegiatan membersihkan rumah, memasak, mencuci pakaian, dst. Keduanya saling terkait meski seringkali tumpang tindih. Pekerjaan perawatan mungkin berbayar atau mungkin juga tidak dibayar. Pekerjaan perawatan tidak dibayar dilakukan dalam lingkup rumah tangga ataupun komunitas tanpa kompensasi yang jelas. Sementara pekerjaan perawatan berbayar mencakup pekerjaan di bidang kesehatan, pendidikan, jasa, dan pekerjaan sosial. Namun, seringkali pekerjaan ini berupah rendah dan tidak dilindungi oleh jaminan sosial.[1] Atau bahkan rentan eksploitasi. Anggapan bahwa pekerjaan perawatan adalah pekerjaan dengan tingkat skill dan pengetahuan rendah ditambah dengan kurangnya regulasi semakin memperburuk keadaan.[2]
Pekerja perawatan yang tidak dibayar adalah kelompok rentan dalam program jaminan sosial. UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) misalnya, mendefinisikan pekerja sebagai “orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lain.”
Di Indonesia, pekerjaan perawatan yang tidak dibayar tidak dianggap sebagai kegiatan produktif karena tidak menghasilkan pendapatan (gaji/upah/kompensasi). Padahal, peran mereka cukup penting agar rumah tangga dan perekonomian dapat terus berjalan. Dengan demikian, perempuan yang meninggalkan pekerjaannya demi melakukan pekerjaan perawatan tidak memenuhi syarat untuk menjadi peserta program jaminan sosial ketenagakerjaan. Data BPJS Ketenagakerjaan pada tahun 2020 menunjukkan rendahnya partisipasi perempuan, yakni 7,8 juta orang, yang hanya mencakup 35% dari total peserta aktif program ketenagakerjaan.[3] Kondisi ini dengan jelas menunjukkan adanya ketimpangan gender, yang mana perempuan memikul lebih banyak beban kerja perawatan dibandingkan laki-laki, dengan segala konsekuensinya.[4]
Dalam konteks kesehatan, khususnya program penanggulangan HIV, terdapat sejumlah posisi yang termasuk dalam kategori pekerja perawatan. Baik itu pendukung sebaya, petugas penjangkau, konselor, pekerja sosial, dst. Para pekerja tersebut memainkan penting dalam sistem layanan kesehatan primer negara. Community Health Worker (CHW) merupakan tulang punggung bagi program pencegahan, perawatan, dan dukungan nasional, sebagaimana dengan yang telah disampaikan melalui beberapa studi di negara-negara Afrika.[5] Peran mereka beragam dan tidak hanya terbatas pada dukungan klinis, tetapi juga psikososial, yang menjadi kebutuhan mendasar ODHIV.[6] Lebih lanjut, studi menemukan bahwa CHW mendukung layanan kesehatan formal dengan memperluas jangkauan hingga ke tingkat komunitas, meningkatkan kepatuhan pengobatan, juga berperan dalam mengatasi stigma dan memobilisasi individu untuk mengetahui status HIV dan melakukan tindak pencegahan dan pengobatan.
Peran CHW dalam respons HIV amat penting. Namun di sisi lain, studi juga menemukan bahwa masih terdapat sejumlah gap, sehubungan dengan pemenuhan hak CHW atas pekerjaan yang layak, yang meliputi upah minimum, cuti, jaminan sosial, work-life balance, pelatihan dan potensi pengembangan karir, pengakuan atas pekerjaan, dukungan pengawasan dan alat kerja, serta keamanan.[7] CHW memerlukan keamanan kerja (job security), demi memberikan perawatan yang maksimal bagi klien, yang kemudian berkontribusi pada capaian cascade 95-95-95 nasional. Pun juga terdapat kebutuhan yang serupa bagi anggota keluarga yang bertindak sebagai caregiver ODHIV,[8] yang turut berkontribusi dalam upaya penanggulangan HIV.
Program jaminan sosial perlu mengakomododir pekerja lepas dengan pendapatan tidak tetap, khususnya bagi perempuan yang bekerja di sektor informal. Pada kondisi ideal, cakupan program jaminan sosial ketenagakerjaan dapat diperluas untuk turut mencakup pekerja informal, termasuk pekerja perawatan yang tidak dibayar. Pun juga cakupan jaminan hari tua dan jaminan pensiun. BPJS Ketenagakerjaan kini membuka kesempatan bagi pekerja informal ataupun Bukan Penerima Upah (BPU) untuk menjadi peserta.[9]
Namun, jumlah pekerja informal yang terdaftar masih tergolong sedikit. Sebagai contoh dari 1,8 juta pekerja informal yang tercatat di DKI Jakarta, hanya sekitar 600 ribu yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan.[10] Sementara di tingkat nasional, dari estimasi 80,24 juta jiwa pekerja informal (atau sekitar 59,31% tenaga kerja Indonesia), baru 6,5 juta yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini disebabkan oleh sejumlah faktor.[11] Cakupan yang rendah juga ditemukan bagi kepesertaan pekerja informal di BPJS Kesehatan.[12]
Menanggapi hal tersebut, maka perlu ada strategi demi memperluas kepesertaan BPJS, baik Kesehatan maupun Ketenagakerjaan. Lebih lanjut, juga perlu adanya pengakuan atas pekerjaan perawatan sebagai pekerjaan yang produktif. Terkhusus dalam lingkup sektor kesehatan. Demi mendorong hal tersebut, maka melalui proyek GEAR-Care: Gender-Equal and Transformative Care Economy ini, akan dilakukan sejumlah kegiatan. Pertama adalah rekrutmen Konsultan untuk merancang studi, metodologi, identifikasi poin-poin untuk pelaksanaan analisis kebijakan, melakukan studi kebijakan, serta menyusun komponen kunci untuk panduan advokasi. Nantinya, materi yang dikumpulkan dari kegiatan Konsultan ini akan menjadi fondasi bagi upaya penyusunan analisis kebijakan dan panduan advokasi ke depannya.
Tujuan Kegiatan
Tujuan dari proyek GEAR-Care ini adalah mengimplementasikan ekonomi perawatan untuk dunia kerja yang transformatif, adil gender, dan berkeadilan. Tujuan besar tersebut kemudian diturunkan menjadi sejumlah output dan lebih lanjut, kegiatan. Rekrutmen Konsultan ini merupakan bagian dari output ‘Tersedianya informasi mengenai program jaminan sosial bagi caregiver, baik berbayar maupun tidak berbayar, yang komprehensif, transparan, dan dapat diakses oleh publik’ dengan turunan aktivitas Konsultan untuk merancang studi, metodologi, identifikasi poin-poin untuk pelaksanaan analisis kebijakan, melakukan studi kebijakan, serta menyusun komponen kunci untuk panduan advokasi
Tugas dan Tanggung Jawab
Indonesia AIDS Coalition (IAC) adalah organisasi berbasis komunitas yang bekerja sama dengan para pemangku kepentingan demi meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat dalam program HIV-AIDS nasional. Untuk membantu IAC dalam implementasi program GEAR-Care, dibutuhkan Konsultan dengan tanggung jawab sebagai berikut:
- Menyusun dokumen rancangan studi dan metodologi.
- Identifikasi poin-poin untuk pelaksanaan analisis kebijakan dan mengembangkan desain rencana analisis kebijakan.
- Menyusun komponen kunci untuk panduan advokasi.
- Melakukan diseminasi hasil akhir ke Indonesia AIDS Coaltion (IAC) dan ILO.
Output
Secara lebih rinci, output yang diharapkan adalah:
- Peningkatan pemahaman mengenai Konvensi ILO terkait pekerjaan perawatan.
- Identifikasi kebutuhan dan elemen kunci dari dokumen analisis kebijakan. Salah satunya adalah sehubungan dengan ketersediaan dari informasi yang komprehensif, transparan, dan dapat diakses oleh publik mengenai pengakuan dan jaminan sosial bagi pekerja perawatan bagi ODHIV, baik berbayar maupun tidak dibayar.
- Draft framework panduan advokasi pengakuan pekerja perawatan bagi ODHIV, baik berbayar maupun tidak dibayar, juga akses dari para pekerja tersebut ke program jaminan sosial.
Kriteria Konsultan
Adapun kriteria Konsultan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
- Memiliki pemahaman yang baik mengenai topik pekerjaan perawatan, terkhusus dalam konteks sektor kesehatan, dan program jaminan sosial di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan track record berupa CV dan contoh hasil kerja terdahulu.
- Memiliki pemahaman yang baik mengenai Konvensi ILO, utamanya sehubungan dengan pekerjaan perawatan seperti Konvensi ILO No. 156, dst.
- Memiliki pengalaman dalam merancang studi, metodologi, melakukan studi kebijakan, serta menyusun panduan advokasi dengan didukung oleh sumber daya yang sesuai.
- Memiliki NPWP.
- Bertanggung jawab dan berkomitmen selama periode pelaksanaan yang disepakati bersama.
- Berpengalaman bekerja dengan populasi kunci HIV.
Masa kerja Konsultan akan berlangsung selama 1 (satu) bulan, yaitu pada bulan Juli 2024.
Jadwal Pelaksanaan
Kerja Konsultan akan berlangsung pada bulan Juli 2024.
Persyaratan Administrasi
Penyerahan dokumen Expression of Interest (EoI) harus disertai dengan syarat-syarat administratif berikut:
- Cover letter
- Curriculum Vitae, jika Konsultan berupa tim mohon agar dapat mencantumkan CV masing-masing individu yang tergabung dalam tim. Referensi akan menjadi nilai plus
- Foto/scan NPWP
- Sampel dari hasil kerja terdahulu (panduan, dokumen studi kebijakan, dst.)
- Proposal, yang terdiri atas:
- Rancangan studi
- Metodologi
- Komposisi tim *apabila dilakukan oleh tim
- Timeline
- Budget
Semua dokumen persyaratan harus dikirimkan ke recruitment@iac.or.id cc sgerungan@iac.or.id sebelum hari Jumat, 5 Juli 2024 pukul 24.00 WIB.
IAC membuka ruang bagi individu dengan disabilitas atau kebutuhan khusus, ODHIV, pekerja seks, mantan pengguna napza suntik, dan LGBT untuk melamar.
Pendanaan
Kegiatan ini dilakukan melalui pendanaan dari ILO melalui proyek GEAR-Care.
Kebutuhan Informasi lebih Lanjut
Jika masih terdapat kebutuhan informasi lebih lanjut, Anda dapat menghubungi Sdr. Stephan Gerungan melalui email sgerungan@iac.or.id.