Penyelamat itu Bernama Komunitas1

Penyelamat itu Bernama Komunitas

Malam itu, tepat pada jam 8 malam tim IAC menjemput tim The Global Fund yang terdiri dari Di Wu, John, Hyeyoung, James, dan Agnes di sebuah hotel di Kawasan Jakarta Pusat. Agenda malam itu adalah mengunjungi hotspot dari komunitas PSP (Pekerja Seks Perempuan) di wilayah Jakarta (kami tidak ingin menyebutkan spesifik tempatnya) yang sedang mengadakan mobile VCT. Kegiatan ini telah ada sejak sekitar tahun 2016-an. Sebelumnya, PSP yang bekerja di sana tidak mengetahui terkait dengan informasi HIV, sehingga kita tidak tahu soal penyebaran HIV yang ada di sana. Belum lagi, diketahui bahwa ada beberapa pelanggan yang meminta untuk tidak memakai kondom saat melakukan hubungan dengan iming-iming akan diberikan uang lebih. Di sisi lain, PSP yang tertekan oleh kebutuhan ekonomi harus terpaksa mengiyakan kemauan itu.

Hal tersebut menambah kemungkinan penyebaran HIV yang tidak terkontrol di daerah itu. Sayang sekali, perhatian khusus dari pemerintah soal permasalahan kesehatan terutama HIV tidak dilakukan sejak dini. Baru pada tahun sekitar 2003-2004 informasi mengenai HIV dapat disosialisasikan ke PSP di sana. Itu pun karena adanya inisiatif yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat yang konsen terhadap isu HIV (LSM HIV). Tim Peer educator dari LSM HIV berhasil merekam permasalahan itu dan memutuskan untuk memberikan informasi terkait HIV dan permasalahan penyakit menular seksual lainnya yang mungkin muncul.

Pemberian informasi merupakan jalan masuk yang berhasil dilakukan komunitas untuk memulai langkah penanggulangan HIV di sana. Langkah selanjutnya yang mereka lakukan adalah melacak sebaran HIV yang berada di wilayah itu. Sebelum adanya mobile VCT seperti sekarang, PSP yang telah paham terkait HIV dan infeksi menular seksual ada beberapa yang kemudian melakukan tes dengan inisiatif sendiri dengan cara datang kelayanan kesehatan terdekat seperti puskesmas dan klinik. Tidak dapat dipungkiri memang yang memiliki inisiatif untuk datang ke layanan itu masih sedikit jumlahnya. Meskipun demikian, inisiatif yang muncul merupakan sebuah kemajuan besar dalam penanggulangan HIV di sana.

Sebelum adanya program penanggulangan HIV yang komprehensif seperti yang sudah ada saat ini, terdapat beberapa hambatan yang harus dipecahkan bersama terkait dengan akses tes HIV dan ARV yang terjangkau dan gratis. Kala itu, tes HIV dan ARV masih menjadi barang yang mahal dan hanya segelintir orang yang mampu mengaksesnya. Jika pun ada yang memiliki biaya murah dan gratis, itu hanya pada layanan kesehatan swasta yang berhasil mengakses donor dari luar negeri untuk melakukan pengadaan alat tes dan ARV. Layanan itu juga tidak berada di setiap daerah di Indonesia. Dengan demikian komunitas populasi kunci masih harus mengeluarkan biaya berupa transportasi yang mungkin akan cukup mahal jika jarak yang harus ditempuh mereka jauh. Akibatnya tingkat sebaran semakin tidak terkontrol dan orang yang meninggal karena AIDS meningkat.

Hambatan terbesar yang ada saat ini adalah, stigma dan diskriminasi di kalangan masyarakat dan pemerintahan. Di sisi masyarakat penolakan bisa berupa pengusiran secara paksa yang cenderung menjurus ke kekerasan. Sehingga sempat di suatu waktu praktik PSP di wilayah itu harus berjalan secara sembunyi-sembunyi. Dan ini membuat sulit LSM HIV memetakan penyebaran PSP di wilayah itu. Dari sisi regulasi, masih terdapat regulasi yang mengkriminalisasi populasi kunci HIV dan

penggunaan atau kepemilikan kondom. Sehingga, tindakan-tindakan pembubaran dan penangkapan oleh aparat sering terjadi di banyak wilayah, termasuk di wilayah yang dikunjungi oleh TGF. Seiring berjalanannya waktu, masyarakat sekitar mulai menerima adanya PSP di wilayahnya. Bahkan ada yang terbantu secara ekonomi karena adanya PSP di tempat mereka, misalnya ada yang menjadi petugas parkir, membuka warung klontong, hingga menyediakan penginapan.

Untuk pembubaran dan penangkapan, teman-teman paralegal dari komunitas yang membantu proses penghentiannya dan pelepasan PSP yang ditahan. Kawan-kawan paralegal juga sering memberikan edukasi terkait langkah apa yang harus diambil jika terjadi penangkapan. Mereka juga sempat memaparkan terkait dengan kondom yang merupakan alat kontrasepsi dan bukan sebuah bukti mereka melakukan transaksi seks.

Pada 2013 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengeluarkan Permenkes No. 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. Meskipun demikian, implementasi yang terjadi dilapangan tidak jauh berbeda dari sebelumnya. Atas situasi itu, organisasi masyarakat sipil turun tangan untuk dapat melakukan percepatan penanggulangan HIV di Indonesia. Tracking, pemberian terapi ARV, hingga penyediaan support system kian gencar dilakukan pada saat itu. Hingga akhirnya, sekitar tahun 2014 penyediaan tes HIV dan ARV gratis sudah tersedia di banyak layanan kesehatan yang tersebar di seluruh Indonesia. Hal itu tentu tidak lepas dari peran The Global Fund yang berhasil masuk ke Indonesia dan bekerja sama langsung dengan Kementerian kesehatan RI dalam melakukan penanggulangan HIV.

Pada 2016, Indonesia turut menandatangani deklarasi politik tingkat dunia untuk mengakhiri AIDS. Deklarasi itu diberinama The 2016 Political Declaration on Ending AIDS. Poin utama dalam deklarasi itu adalah melakukan fast track 95-95-95 yang meliputi percepatan pencapaian 95% orang mengetahui status HIV, 95% dari ODHA yang mengetahui status HIV memulai terapi ARV, dan 95% ODHA dalam terapi ARV berhasil menekan jumlah virusnya. Fast track itu diharapkan dapat terealisasikan di tahun 2030.

LSM HIV yang juga sadar dengan hal tersebut, kemudian melakukan inovasi agar cita-cita tersebut dapat dicapai. Salah satu inovasi yang muncul adalah dengan mengajak kolaborasi pemerintah untuk melakukan mobile VCT di hotspot tempat mereka berkegiatan. Dengan demikian bagi mereka yang tidak bisa datang kelayanan, kini dapat mengakses layanan dengan mudah.  Kedepannya, penjangkau lapangan dan paralegal yang kini mendampingi di sana akan terus mengasah pengetahuannya terkait dengan strategi percepatan penanggulangan HIV di PSP yang berkembang di masyarakat global dan pencegahan kekerasan di komunitas. Tujuannya agar, jika ada permasalahan-permasalahan klasik yang muncul seperti sulit mengjak tes, lost to follow up, stigma, dan diskriminasi petugas lapangan dan paralegal komunitas dapat segera menemukan jalan keluarnya.

Penulis: AB Santoso

Sumber:
[1] Kemenko PMK, Menuju Indonesia Bebas AIDS 2030, https://www.kemenkopmk.go.id/menuju-indonesia-bebas-aids-2030 diakses pada 23 Mei 2022 pukul 10.00 WIB.
[2] Global Fund CCM Indonesia, https://www.youtube.com/watch?v=zyqBxfLrVag, diakses pada 23 Mei 2022 pukul 10.00 WIB.
[3] UNAIDS, Understanding Fast-Track: Accelerating Action to End The AIDS Epidemic by 2030, https://www.unaids.org/sites/default/files/media_asset/201506_JC2743_Understanding_FastTrack_en.pdf, diakses pada 23 Mei 2022 pukul 14.00 WIB.
[4] Perkembangan HIV dan AIDS di Indonesia (1987-2013), https://www.kebijakanaidsindonesia.net/id/49-general/1603-sejarah-hiv-aids, diakses pada 23 Mei 2022 pukul 14.00 WIB.

 

Share this post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

On Key

Related Posts

Lowongan Kerja

Vacancy Monitoring Evaluasi Officer IAC

Indonesia AIDS Coalition (IAC) adalah sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang dipimpin oleh dan berbasiskan Orang dengan HIV (ODHA) dan komunitas terdampak AIDS lainnya (Pekerja

Read More »
Lowongan Kerja

Vacancy Konsultan Content Creator

Indonesia AIDS Coalition adalah sebuah organisasi berbasis komunitas yang berkontribusi pada upaya meningkatkan transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat dalam program AIDS melalui kolaborasi dengan beragam

Read More »

want more details?

Fill in your details and we'll be in touch