Studi Banding CoE

Studi Banding Community Center of Excellence untuk HIV dan TB di Thailand

Selama 3 dekade merespons infeksi HIV, Indonesia telah menggapai sejumlah kemajuan dalam perihal testing dan pengobatan HIV, dengan peningkatan untuk pencegahan HIV dan TB. Namun, mengacu pada Laporan Eksekutif Perkembangan HIV-AIDS dan Penyakit Infeksi Menular Seksual (PIMS) Triwulan I Kementerian Kesehatan Tahun 2023, baru 85% dari estimasi Orang dengan HIV (ODHIV) di Indonesia yang mengetahui statusnya, 42% ODHIV menjalani terapi Antiretroviral (ARV), dan 27% ODHIV yang menjalani pengobatan melakukan tes viral load (VL) dan virusnya tersupresi. Dari laporan tersebut, dapat dipahami bahwa Indonesia masih menghadapi jalan panjang untuk mencapai target global 95-95-95.

Kesenjangan paling signifikan terdapat pada komponen pengobatan dan pemantauan ODHIV yang telah terdiagnosis, khususnya terkait kurangnya jumlah tes VL dan tes TB pada ODHIV, terutama di daerah pedesaan, yang menyebabkan terbatasnya akses ke pengobatan HIV dan ko-infeksi HIV-TB.

Tren infeksi (>80%) cenderung pada beberapa kelompok tertentu yang berkontribusi pada angka infeksi baru, yakni Lelaki yang Berhubungan Seks dengan Lelaki (LSL), perempuan/pasangan ODHIV, serta  klien pekerja seks. Menanggapi kasus infeksi baru tersebut, strategi yang digunakan oleh Kementerian Kesehatan meliputi: 1) Kebijakan treat all (mengobati semua orang); 2) Mempertahankan ODHIV yang sedang menjalani pengobatan; serta 3) Mengurangi jumlah kasus kematian terkait HIV-AIDS.

Untuk meningkatkan akses terhadap pencegahan, testing, dan pengobatan HIV, pemerintah mempercepat penambahan jumlah layanan HIV di seluruh Indonesia. Dengan baseline layanan tes dan pengobatan sebesar 2.989 pada tahun 2022, pemerintah menargetkan peningkatan secara bertahap menjadi 9.781 pada tahun 2026. Pemerintah juga berupaya untuk meningkatkan kerjasama dengan penyedia layanan kesehatan swasta dengan mencanangkan Kemitraan Pemerintah-Swasta di tingkat nasional, provinsi, dan kota/kabupaten, juga mendorong Dinas Kesehatan untuk mengidentifikasi dan mendorong klinik dan RS swasta untuk menyediakan layanan HIV.

Terlepas dari kemajuan baik tersebut, masih ditemukan sejumlah catatan untuk program HIV dan Infeksi Menular Seksual (IMS). Yakni, cakupan pencegahan, testing, dan pengobatan HIV & IMS masih kurang optimal, khususnya untuk kelompok populasi kunci, perempuan hamil, bayi yang lahir dari ibu ODHIV, anak dengan HIV, serta pasien TB. Kedua, infeksi baru secara terus menerus di kalangan populasi kunci menunjukkan lingkungan yang kurang mendukung. Ketiga, cakupan Elimination of Mother-to-Child Transmission (EMTCT) masih belum optimal. Keempat, masih kurangnya sumber daya dan kapasitas untuk melaksanakan program IMS. Kelima, implementasi program di tingkat daerah amat dipengaruhi oleh kebijakan dan sumber daya daerah yang diatur oleh Kementerian Dalam Negeri. Terakhir, penggunaan data kumulatif yang bersifat lintas sektoral menyulitkan upaya pemantauan atas kemajuan program.

Hal ini sejalan dengan laporan stigma, diskriminasi, dan kekerasan yang dikumpulkan oleh Indonesia AIDS Coalition (IAC) melalui program Community-led Monitoring (CLM), atau pemantauan berbasis komunitas. Menyikapi hal ini, didukung juga oleh pengakuan dari Kementerian Kesehatan mengenai pentingnya kolaborasi multisektor untuk mendukung program penanggulangan HIV, Community Center of Excellence (CoE) akan dibangun dan ditingkatkan untuk meningkatkan akses masyarakat ke layanan kesehatan dan mendukung terciptanya lingkungan yang kondusif. CoE akan dibangun dengan berdasarkan pada 3 pilar utama, yakni pencegahan, testing & diagnosis, serta pengobatan & pemantauan, dengan tentunya mempertimbangkan kebutuhan dari ODHIV dan populasi kunci. Yakni, akses yang berkeadilan terhadap layanan tes dan pengobatan, peningkatan kapasitas tes VL, serta peningkatan diagnosis & perawatan pasien ko-infeksi HIV-TB.

Menanggapi kebutuhan tersebut pada hari Selasa-Sabtu, tanggal 14-18 November 2023, tim dari IAC melakukan kegiatan studi banding di Bangkok, Thailand. Selama kegiatan, tim mengunjungi beberapa klinik berbasis komunitas untuk mempelajari praktik baik yang telah dilakukan, yakni Tangerine Clinic, Rainbow Sky Clinic, serta SWING Clinic. Praktik baik yang dimaksud mencakup, tetapi tidak terbatas pada sertifikasi konselor, paket layanan kesehatan yang komprehensif/one stop service, juga strategi penjangkauan & diseminasi informasi.

Share this post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

On Key

Related Posts

want more details?

Fill in your details and we'll be in touch