WhatsApp Image 2025-05-17 at 11.40.11 AM

Konferensi GSIPA2M 2025: Mendorong Akses ke Obat-Obatan yang Berkeadilan

Akses ke obat merupakan elemen penting dari kesehatan publik dan merupakan indikator efektif bagi kesetaraan sosial. Menurut Medecins Sans Frontieres (MSF), sekitar satu per tiga penduduk dunia tidak memiliki akses ke obat-obatan esensial, dan jumlah tersebut meningkat menjadi separuh di beberapa wilayah di Benua Afrika dan Asia.

PBB menekankan pentingnya upaya untuk meningkatkan akses ke obat, yang kemudian dituangkan ke dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). PBB menetapkan standar minimal akses sebagai ”akses ke 20 obat-obatan esensial yang tersedia di fasilitas kesehatan yang mudah dijangkau, setidaknya berjarak 1 jam dengan berjalan kaki dari rumah.”

Dalam banyak kasus, obat-obatan yang tidak tersedia ataupun layanan kesehatan yang tidak diberikan secara tepat waktu dapat berdampak pada bertambah parahnya kondisi penyakit atau bahkan meningkatnya kasus penularan. Penelitian di Benua Afrika dan Asia mengaitkan tingginya angka kematian akibat penyakit menular dengan tidak tersedianya obat-obat esensial, khususnya di wilayah terpencil. Padahal, pengobatan yang diberikan secara tepat waktu dengan obat-obatan yang tepat dapat secara signifikan mengurangi angka kematian. Pun juga pelaksanaan dari tindakan preventif. Permasalahan ini semakin menegaskan pentingnya akses ke obat, demi mengurangi angka kematian dan meningkatkan kualitas hidup.

Akses, tidak hanya sebatas pada ketersediaan. Akan tetapi juga terkait pemerataan distribusi, keterjangkauan, dan peningkatan literasi kesehatan. Hal ini merupakan salah satu poin advokasi yang dilakukan oleh berbagai organisasi yang tergabung dalam Koalisi Make Medicines Affordable (MMA). Koalisi MMA adalah gabungan dari Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di 24 negara berpendapatan rendah-menengah (LMICs) yang terbagi menjadi beberapa hub yakni Afrika, Asia-Pasifik, Eropa Timur, Eurasia, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Indonesia AIDS Coalition (IAC), mewakili Indonesia, merupakan anggota Koalisi untuk hub Asia-Pasifik.

Pada tanggal 13-15 Mei 2025, International Treatment Preparedness Coalition (ITPC) selaku lead dari Koalisi MMA, mengadakan konferensi yang bertajuk ‘GSIPA2M: 3rd Global Summit on IP and Access to Medicines‘di Kota Marrakesh, Maroko. Secara ringkas, GSIPA2M  adalah kegiatan konferensi dua tahunan yang membahas mengenai topik Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan akses ke obat, dengan ITPC sebagai penyelenggara. Kegiatan ini ditujukan tidak hanya bagi OMS dan perwakilan komunitas, tetapi juga perwakilan pemerintah, lembaga pembangunan internasional, serta akademisi.

Pada GSIPA2M ketiga ini, beberapa isu yang menjadi sorotan adalah kendala terkait paten obat, perkembangan terbaru (penggunaan lisensi wajib oleh Kolombia, masuknya ketentuan-ketentuan TRIPS Plus di berbagai naskah perjanjian dagang internasional (FTA), dst.), krisis pendanaan global, juga munculnya berbagai ancaman kesehatan baru seperti Mpox dan flu burung. Tema yang diusung adalah ‘Opportunities for Access.’

Kegiatan diawali dengan Law Reform Academy, sesi pra-konferensi yang menyoroti pentingnya reformasi hukum sebagai strategi jangka panjang untuk menjamin akses terhadap obat. Salah satu sorotan utama adalah pemaparan mengenai amandemen Undang-Undang Paten di Indonesia dan dampaknya terhadap akses terjangkau ke obat-obatan. Para peserta diajak memahami bahwa monopoli paten sering kali digunakan untuk memaksimalkan keuntungan, sementara publik dibiarkan menanggung beban harga tinggi, terutama dalam konteks penyakit langka.

Diskusi selama konferensi menggarisbawahi bahwa akses ke obat bukanlah sebuah kemewahan, melainkan HAM. Ketimpangan akses yang menyebabkan jutaan kematian akibat penyakit yang sebenarnya dapat diobati dianggap sebagai kegagalan moral. Berbagai contoh keberhasilan advokasi isu akses ke obat (A2M) diangkat, mulai dari perjuangan akses ke pengobatan HIV-AIDS hingga penggunaan lisensi wajib maupun banding paten untuk mengatasi hambatan paten dalam akses publik ke obat-obatan.

Selama empat hari, konferensi terbagi dalam sesi pleno dan diskusi paralel. Di antaranya, perhatian besar diberikan pada fleksibilitas dalam perjanjian TRIPS yang dijamin oleh Deklarasi Doha. Namun sayangnya, implementasinya masih minim dan sering dihambat oleh tekanan politik dari negara-negara maju. Sementara itu, ketentuan TRIPS Plus dalam FTA disebut-sebut semakin memperberat beban negara berkembang, karena memperpanjang masa monopoli dan membuat  harga obat-obatan esensial menjadi mahal.

Isu lainnya yang juga disorot adalah penurunan pendanaan internasional untuk program kesehatan, dampak krisis iklim dan perang, serta meningkatnya otoritarianisme yang mengancam hak-hak kelompok rentan, termasuk komunitas LGBTIQ. Para peserta menyerukan perlunya solidaritas lintas isu dan batas negara, serta pentingnya membangun kemandirian pendanaan program kesehatan dan industri obat generik lokal.

Pada akhirnya, GSIPA2M menyuarakan satu pesan kuat: kesehatan adalah hak, bukan komoditas. Oleh karena itu, reformasi hukum, penguatan kapasitas nasional, serta keterlibatan aktif masyarakat sipil harus terus didorong. Dalam dunia yang dilanda polycrisis, hanya pendekatan yang berlandaskan keadilan sosial, HAM, dan bukti ilmiah yang dapat menjawab tantangan terhadap akses kesehatan global.

Share this post

On Key

Related Posts

Uncategorized @id

Directory Link

Form Online Absensi Online Assesment COVID-19 IAC Staff Survey Evaluasi Program IAC 2019 Request Zoom Newsletter  Dokumen Final SOP IAC Dokumen submit PR 2020 Milis

Read More »
Artikel

Pelatihan R-CAD bagi SR dan SSR

Setelah terpilih menjadi Principal Recipient (PR) dari the Global Fund to Fight AIDS, Tuberculosis, & Malaria (GF-ATM), Indonesia AIDS Coalition (IAC) mengampu beberapa program besar.

Read More »

Konferensi GSIPA2M 2025: Mendorong Akses ke Obat-Obatan yang Berkeadilan

Akses ke obat merupakan elemen penting dari kesehatan publik dan merupakan indikator efektif bagi kesetaraan sosial. Menurut Medecins Sans Frontieres (MSF), sekitar satu per tiga penduduk dunia tidak memiliki akses ke obat-obatan esensial, dan jumlah tersebut meningkat menjadi separuh di beberapa wilayah di Benua Afrika dan Asia. PBB menekankan pentingnya upaya untuk meningkatkan akses ke […]

CLM Digital Platform untuk Layanan HIV yang Lebih Responsif: Kunjungan Tim IAC ke Provinsi Banten

Indonesia AIDS Coalition (IAC) adalah sebuah organisasi berbasis komunitas yang berkontribusi pada upaya untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat dalam program penanggulangan HIV melalui kolaborasi dengan beragam pemangku kepentingan, baik pemerintah maupun non-pemerintah. Di tahun 2025 ini, IAC dipercaya menjadi Principal Recipient (PR) untuk program the Global Fund, dengan 3 modular, yaitu Pencegahan HIV […]

Exchange Learning antara Indonesia dan Afrika Selatan: Memperkuat Pendekatan Komunitas dalam Perawatan Anak dengan HIV (ADHIV)

Pada tanggal 7–15 April 2025, tim dari Indonesia AIDS Coalition (IAC) melakukan kunjungan ke Afrika Selatan dalam rangka mengikuti pelatihan pengungkapan status HIV yang sesuai dengan usia anak. Atau yang juga dikenal sebagai age appropriate disclosure. Kegiatan ini diselenggarakan oleh ZoeLife dan merupakan bagian dari kolaborasi berkelanjutan dalam program KidzAlive, yang bertujuan memperkuat pendekatan berbasis […]

Kegiatan Pertemuan IAC dengan Perwakilan YSS dan UNAIDS Indonesia

Pada hari Senin, 17 Maret 2025, IAC mengadakan pertemuan dengan perwakilan dari Yayasan Srikandi Sejati (YSS) dan UNAIDS Indonesia. Kegiatan ini membahas mengenai berbagai tantangan bagi upaya penanggulangan HIV di Indonesia. Berdiri pada tahun 1998, YSS adalah Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang memberikan dampingan bagi masyarakat umum. Atau kelompok transgender secara khusus. YSS  adalah salah […]

Training Data Program dan Monitoring & Evaluation

Setelah terpilih menjadi salah satu Principal Recipient (PR) Komunitas bagi program the Global Fund-ATM, Indonesia AIDS Coalition (IAC) melaksanakan seleksi kemitraan untuk mendapatkan Sub Recipient (SR) yang akan mengimplementasikan program-program pada periode waktu tahun 2024 hingga 2026. Salah satunya adalah Penanggulangan HIV pada Populasi Pekerja Seks Perempuan (FSW), yang mana IAC memiliki mitra 3 SR […]

want more details?

Fill in your details and we'll be in touch