Indonesia AIDS Coalition (IAC) sebuah LSM yang berbasiskan pada komunitas terdampak AIDS menyerukan kepada pemerintah untuk menginklusikan orang dengan HIV dalam pertanggungan BPJS Kesehatan atau Jaminan Kesehatan Nasional yang mulai berjalan sejak 1 Januari 2014 kemarin. Seperti diketahui, ada kerancuan yang beredar di penyedia layanan JKN mengenai apakah HIV bisa ditanggung atau tidak dalam JKN karena selama ini pembiayaannya melalui dana program pemerintah.
Selama ini, upaya perawatan dan pengobatan orang dengan HIV (ODHA) memang alokasinya menggunakan dana program. Sementara, ada klausul dalam Peraturan Presiden nomer 12 tahun 2013 tentang BPJS pasal 22 ayat 2 yang berbunyi ‘Dalam hal pelayanan kesehatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c telah ditanggung dalam program pemerintah, maka tidak termasuk dalam pelayanan kesehatan yang dijamin.’
Sementara itu, aturan mengenai JKN yang diatur dalam Perpres tersebut juga sangat diskriminatif bagi pecandu narkotika yang membutuhkan layanan kesehatan. Pasal 25 butir H dalam Perpres ini menyatakan gangguan kesehatan/penyakit akibat ketergantungan obat dan/atau alkohol merupakan komponen yang tidak ditanggung dalam JKN.
“Kita harus lihat situasinya. Saat ini, dana untuk program penanggulangan AIDS di Indonesia itu, lebih dari 60% masih bergantung pada dana bantuan asing. Jika kita terus gantungkan pembiayaan bagi program HIV pada program pemerintah, maka selamanya kita akan bergantung pada pihak luar. Dimana kemandirian kita. Ini nyawa rakyat kita. Kondisi ini juga berbahaya bagi keberlangsungan pengobatan ODHA,” kata Aditya Wardhana, Direktur Eksekutif IAC.
Dia pun menambahkan, “Dana program itu tidak cukup. Kami memahami concern Kementerian Kesehatan untuk tidak melepas penyediaan obat ARV ini kepada pembiayaan JKN namun untuk komponen lainnya, seperti tes HIV, tes laboratorium seperti CD4 dan Viral load yang dibutuhkan ODHA, akan jauh lebih baik jika ditanggung dalam JKN sehingga keberlangsungan kedepannya terjaga dan cakupannya bisa diperluas.”
Tantangan kedua untuk menginklusifkan ODHA dalam JKN adalah masih terkendalanya komunitas marginal ini mendapatkan akses ke kartu identitas. Kartu identitas kerap kali menjadi barang mewah bagi ODHA dan komunitas terdampak AIDS.
Sementara itu, situasi adanya pasal diskriminatif pada pecandu narkotika yang membutuhkan layanan kesehatan juga dipandang sebagai sebuah hal yang sangat membahayakan program penanggulangan AIDS. Selama ini, pecandu narkotika banyak mengakses layanan pengurangan dampak buruk narkotika yang juga mencakup layanan pemulihan adiksi berbasis komunitas.
“Ini kan aneh ya. Pecandu ingin melindungi kesehatannya dan ingin berhenti untuk menggunakan narkotika kok tidak didukung. Selama ini, program pengurangan dampak buruk narkotika telah berhasil menurunkan tingkat infeksi HIV di kalangan pengguna narkotika suntik. Namun harus disadari, mayoritas dana program itu berasal dari dana sumbangan bantuan asing. Bagaimana dengan keberlanjutannya,” tanya Aditya.
Carut marut ini harus segera diselesaikan oleh Kementrian Kesehatan sebagai badan negara yang bertanggung jawab untuk kesehatan. Pasal diskriminatif terhadap pecandu narkotika harus dihilangkan dan segera keluarkan sebuah kebijakan yang bisa menjadi acuan penyelenggara JKN mengenai HIV turut ditanggung dan komponen apa yang bisa ditagihkan ke JKN serta mana yang tetap menjadi komponen dana program. Selain itu, akses kelompok marginal dalam proses pendaftaran JKN harus disederhanakan.
“Pemerintah kita sedang diuji. Apakah kita benar-benar serius ingin mencapai target MDGS terkait mengendalikan dan membalikan laju epidemi AIDS atau ini hanya sebatas komitmen di atas kertas,” tutup Aditya.