Untuk kesekian kalinya Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN), dr Nafsiah Mboi MPH “melukai/merendahkan” salah seorang/kelompok yang dia sebut dengan kelompok “kunci”. Tindakannya berawal dari diskusi disela-sela pertemuan nasional (Pernas) antara Sekretaris KPAN dengan masyarakat sipil, khususnya populasi “gembok” di ruang Nakula Sadewa, Hotel Inna Garuda, Yogyakarta pukul 19.00 (4/10/2011).
Penulis gunakan kata “gembok” sebagai bentuk protes atas penggunaan kata “kunci” yang banyak menimbulkan stigma baru.
Ketika salah seorang peserta (Aditya Wardhana) yang sekaligus penggagas pertemuan tersebut memperkenalkan diri, langsung saja sekretariat KPAN Nafsiah dengan menyerang dengan menyatakan kalau saudara Edo, panggilan Aditya Wardhana, orang yang membenci saya, ungkap Nafsiah.
Saat itu mungkin sebagian orang bingung dan berpikir mengapa Nafsiah Mboi mengucapkan seperti itu? Kemudian Edo memilih “walk out” dan acara terus berlangsung dengan design pengaturan yang tidak lebih pada menghadap-hadapkan masyarakat sipil dengan masyarakat sipil. Cara semua koordinator/perwakilan jaringan populasi ” gembok” duduk didepan “mendampingi” Nafsiah Mboi, layaknya pembicara atau narasumber. Sementara peserta yang lain duduk berhadapan layaknya peserta. Sehingga memungkinkan sekali jika peserta ada yang tanya maka akan dijawab oleh perwakilan populasi “gembok” yang berada didepan. Cara-cara seperti selain seperti melepaskan tanggungjawab sekretaris KPAN juga rawan konflik horizontal sesama masyarakat sipil. Apa yang dikatakan oleh Nafsiah Mboi dalam pembukaan forum komunitas, bahwa kita semua setara; hanya omong kosong belaka.
Ini bukan kali pertama masyarakat sipil, khususnya Indonesia AIDS Coalition (IAC) diperlakukan oleh Nafsiah Mboi sebagai sekretaris KPAN. Sebelumnya ketika masyarakat sipil membuat laporan bayangan tentang HIV dan AIDS atas nama Ungass Forum, kami lembaga yang tergabung di Ungass Forum khususnya yang di Jakarta, dipanggil oleh Nafsiah Mboi ke kantor KPAN. Kejadian hampir sama, tiba-tiba Nafsiah Mboi dengan angkuhnya menyatakan; sekarang jaringan populasi “gembok” memilih’ mau gabung dengan Ungass Forum atau keluar dari keanggotaan KPAN?.
Tentu saja pernyataan itu membuat teman-teman jaringan “gembok” yang tergabung dengan Ungass Forum hanya diam. Karena apa yang Nafsiah sampaikan bukan sebuah pilihan tetapi lebih pada ancaman. Sekretaris KPAN tahu sekali bahwa jaringan “gembok” masih membutuhkan sumberdaya dari KPAN. Sehingga jaringan “gembok” selama ini secara sistematis oleh sekretaris KPAN dibentuk dan kontrol, baik secara langsung maupun tidak langsung. Situasi ini yang membuat sulit dan “menekan” gerakan masyarakat sipil khususnya populasi “gembok”.
Jaringan populasi “gembok digunakan” oleh sekretaris KPAN untuk “bemper” atau justifikasi keterlibatan masyarakat sipil. dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Sekretariat KPAN terkesan mendukung dengan memberikan sumberdaya kepada jaringan ” gembok” yang dianggap berdampak langsung, misalnya jaringan orang terinfeksi HIV, jaringan gay/waria, jaringan perempuan positif, jaringan pekerja sex dan pecandu. Walau jaringan ini secara historis tidak semua didirikan langsung atas ide sekretaris KPAN, tetapi jaringan ini semuanya sangat dikontrol oleh sekretaris KPAN terutama dari sumberdaya.
Misalnya cara sekretaris KPAN melakukan kontrol begitu sistematis, mulai “mengandangkan jaringan “gembok di Menara Topas lantai 7 (satu gedung dengan sekretaris KPAN). Kemudian hampir semua kemitraan yang dibangun dengan donor harus melalui “persetujuan” Sekretaris KPAN. Jika ada personal atau lembaga yang kritis terhadap kebijakan sekretaris KPAN, maka siap-siap akan kehilangan sumberdaya.
Jika ada pertemuan-pertemuan yang harus melibarkan masyarakat sipil, maka sekretaris KPAN dengan mudahnya memanggil atau meminta jaringan “gembok” untuk terlibat atas nama partisipasi. Caranya sekretaris KPAN tinggal membuka pintu kandang, kemudian para jaringan “gembok” keluar mewakili atas nama masyarakat sipil. Bahwa tidak semua kelompok yang dianggap gembok tergabung dalam jaringan “gembok” yang dikontrol oleh sekretaris KPAN tersebut.
Jika dianalisis secara dalam, KPAN sebagai lembaga jelas secara politik membutuhkan keberadaan populasi “gembok” untuk justifikasi keterlibatan masyarakat sipil sebagai pertanggungjawaban. Sehingga apapun yang terjadi terhadap jaringan “gembok” tetap akan KPAN pertahankan.. Kalaupun ada jaringan “gembok” yang menolak bergabung atau bersikap oposisi dengan kebijakan KPAN, maka sangat mungkin sekali sekretaris KPAN akan membentuk jaringan gembok baru. KPAN tidak peduli dengan kapasitas dan kecerdasan jaringan gembok. Apalagi sampai membangun kesadaran kritis, sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh pemilik kekuasaan seperti Sekretaris KPAN. Karena sekretaris KPAN menempatkan jaringan “gembok” tidak lebih sebagai “token” atau boneka yang dapat dibawa kemanapapun atau dituliskan dalam laporan pencapaian penannggulangan HIV dan AIDS oleh pemerintah.
Mungkin kita perlu tanyakan kepada Menkokesra selaku Ketua KPAN, apakah mengetahui situasi yang terjadi selama ini? sebagai pihak yang harus bertanggung penuh terhadap penanggulangan HIV dan AIDS.
Kelompok “gembok” adalah manusia, punya hati, rasa, jiwa yang ingin hidup merdeka dan bebas. Dan yang paling penting kami adalah rakyat, pihak yang secara sah memiliki negeri ini. Rakyat yang seharusnya mendapatkan pendidikan dan pelayanan terbaik dari para pemberi layanan, bukan pihak yang hanya dijadikan “objek dagangan” oleh sekretaris KPAN untuk mendapatkan sumber dana asing.
Kami (kelompok gembok) sudah capek dan lelah kalau keberadaan KPAN hanya menjadikan kelompok “gembok” sebagai bemper dan membuat konflik antar masyarakat sipil yang berkepanjangan karena persoalan sumberdaya. Kelompok “gembok” ingin menjadi manusia bebas yang dapat menentukan diri sendiri apa yang terbaik buat kami. Tentunya bukan sebagai manusia “kunci atau gembok” yang diselama ini sekretaris KPAN inginkan. Tetapi manusia yang kritis dan bebas, tanpa rasa takut sehingga dapat berkontribusi dalam penanggulangan AIDS di Indonesia.
Malioboro, 6 Oktober 2011
Oleh : Hartoyo*
*Staff Advokasi Indonesia AIDS Coalition (IAC)
img: panggungboneka.net