Pada hari Rabu-Jumat, tanggal 24-28 Mei 2023, bertempat di Hotel Santika Premiere Bintaro, Indonesia AIDS Coalition (IAC) mengadakan kegiatan Training of Trainers (ToT) mengenai Kekerasan Berbasis Gender atau Gender Based Violence (GBV) terhadap populasi kunci. Kegiatan ini mengundang SR, SSR, mitra PR, mitra komunitas, serta mitra pembangunan internasional.
Secara garis besar, topik yang dibahas adalah mengenai stigma dan diskriminasi terhadap populasi kunci, GBV, Sexual Orientation Gender Identity and Expression (SOGIE), penerimaan diri, hak-hak ODHIV dan populasi kunci penyintas GBV, prinsip dan tahapan penanganan kasus GBV, teknik skrining dan penilaian awal, Psychological First Aid (PFA), mekanisme rujukan, serta pencatatan dan pelaporan kasus.
Program penanggulangan HIV untuk tahun 2024-2026 di Indonesia kini mengupayakan adanya integrasi antara penjangkauan populasi kunci dengan perlindungan HAM. Dalam artian, upaya penjangkauan yang dilakukan oleh petugas lapangan kini tidak hanya menyasar soal edukasi mengenai HIV dan ajakan untuk melakukan testing, tetapi juga dibarengi dengan skrining kasus stigma & diskriminasi dan upaya tindak lanjut kasus. Menanggapi perubahan arah tersebut, IAC, bekerjasama dengan UN Women, Yayasan SPEK-HAM, dan UNDP, melakukan penyusunan modul GBV. Modul tersebut rencananya akan dilatihkan pada petugas lapangan yang melakukan kegiatan penjangkauan di 23 kota/kabupaten. Maksud dari ToT ini adalah untuk melatih fasilitator untuk kegiatan tersebut.
Sejak kasus HIV pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 1987, virus tersebut telah menyebar dan menginfeksi sekitar 543,100 jiwa, dengan tingkat kasus putus obat (Lost to Follow Up/LTFU) dan kematian yang cukup mengkhawatirkan. LTFU salah satunya disebabkan oleh kekerasan terhadap ODHIV. Termasuk di dalamnya adalah GBV. Untuk itu, amat penting untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip HAM dalam program penanggulangan HIV. Yakni demi memberikan akses bagi populasi kunci dan ODHIV penyintas GBV akses ke layanan yang aman, berkualitas, dan komprehensif.
Demi mencapai tujuan tersebut, maka dilakukan upaya peningkatan kapasitas bagi petugas lapangan mengenai GBV, yang meliputi konsep GBV dan respons bagi kasus GBV yang dialami oleh populasi kunci dan ODHIV. Beberapa konsep yang penting untuk dipahami terkait GBV adalah kerentanan dan gender. Kerentanan mencakup perilaku dan relasi antar manusia. Sementara itu, gender adalah pembedaan antar jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) sehubungan dengan sifat, peran, dan posisi mereka oleh masyarakat (melalui pendidikan, budaya dan adat, sistem hukum, penafsiran agama, dsb.). Misalnya, perempuan itu lemah lembut, sementara laki-laki itu kuat. Hal tersebut dianggap sebagai sesuatu yang wajar di kelompok masyarakat tersebut dan jika dibalik, dianggap tidak normal. Namun perlu diingat bahwa konsep gender ini cair, dan dapat berubah untuk menyesuaikan dengan ruang dan waktu.
Pembedaan berdasarkan jenis kelamin ini nantinya yang pada kemungkinan terburuk, dapat menyebabkan stigma & diskriminasi, yang berujung pada kekerasan. Kekerasan pada satu sisi, dialami oleh individu rentan, dan di sisi lain, membuat individu tersebut menjadi semakin rentan. Selain jenis kelamin, kerentanan juga dapat disebabkan oleh perbedaan ras & etnis, orientasi seksual & ekspresi gender, serta status sosial & ekonomi.
Di sisi lain, pelaku kekerasan tidak hanya individu, tetapi juga kelompok ataupun organisasi. Kekerasan yang dialami oleh seorang individu menyebabkan individu tersebut terhalang dalam mengaktualisasikan potensi diri mereka, juga mengakses berbagai layanan publik. Termasuk layanan kesehatan untuk mencegah dan mengendalikan infeksi HIV.
Kekerasan merupakan salah satu bentuk dari ketidakadilan gender. Lebih luas, ketidakadilan gender mencakup pelabelan, marginalisasi, beban ganda, serta stigma & diskriminasi. Beberapa dampak yang dirasakan oleh penyintas adalah ketidakmampuan untuk bernegosiasi dengan pasangan terkait penggunaan pengaman & pengobatan penyakit, eksploitasi seksual, pelacuran paksa, kekerasan seksual, infeksi Penyakit Menular Seksual (PMS), serta penurunan kualitas kesehatan.
Perlu dipahami bahwa konsep GBV menekankan pada ketidakadilan, atau subordinasi di masyarakat. Oleh karena itu, GBV tidak hanya dapat dialami oleh perempuan, tetapi juga kelompok identitas gender lain. GBV juga berbeda dengan kekerasan pasangan intim (Intimate Partner Violence/IPV). Pada ODHIV dan populasi kunci, risiko kekerasan meliputi kekerasan fisik, seksual, psikis, ekonomi, serta diskriminasi karena status HIV. Penanganan GBV pada populasi kunci dan ODHIV menjadi penting, sebab mereka merupakan kelompok rentan, yang berhak dan memang sepatutnya mendapat perlindungan sebagai warga negara dan hak-haknya dipenuhi.
Kegiatan ToT GBV ini berjalan dengan lancar selama empat hari. Selain paparan, peserta juga melakukan diskusi dan praktik. Selain topik-topik terkait GBV, peserta mendapat peningkatan kapasitas sehubungan dengan teknik fasilitasi, seperti ice breaking dan komunikasi dengan peserta.