“Ya, memang sebaiknya ARV jenis d4T itu digantikan dengan yang lebih aman. Misalnya Tdf (tenofovir)” ucapan itu meluncur dari mulut Prof Dr Zubairi Djoerban SpPD KHOM, seorang Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam, Universitas Indonesia. Ucapan itu meluncur ketika tim advokasi dari IAC dan Kampanye #ODHABerhakSehat menemui beliau di sela-sela acara pemberian apresiasi kepada ODHA (Orang terinfeksi HIV) yang telah mengkonsumsi ARV lebih dari 5 tahun dan bisa tetap sehat.
Acara ini diadakan di Ruang Kuliah Penyakit Dalam, Universitas Indonesia pada tanggal 23 Mei 2012. Acara ini merefleksikan dan memperlihatkan betapa baiknya hubungan yang terjalin diantara dokter dan staff paramedis di Pokdisus RSCM dengan ODHA. Hubungan yang berjalan baik ini sangat diperlukan guna menjaga kualitas hidup ODHA tetap sehat. Peserta dari acara ini meliputi segenap dokter dan paramedis di Pokdisus HIV dan AIDS RSCM serta sekitar 50 ODHA yang selama ini mengakses layanan HIV dan AIDS.
Acara diawali dengan beberapa pemaparan dari Tim Pokdisus RSCM yang memperlihatkan beberapa perbaikan baik dalam struktur maupun infrastuktur layanan HIV dan AIDS di Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo. Perbaikan ini sangat menunjang peran kerja unit HIV dan AIDS di lingkup RSCM ini menginggat rumah sakit ini menjadi rujukan utama guna menangani persoalan HIV dan AIDS. Setiap bulannya ada ribuan ODHA yang berobat di Rumah Sakit ini.
Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab dengan ODHA yang hadir. Prof Zubairi menanyakan jenis ARV apa yang dikonsumsi rekan-rekan ODHA, berapa lama dikonsumsi dan bagaimana kondisi kesehatannya sekarang. Semua ODHA lalu bergantian bercerita bahwa dengan ARV mereka bisa menjaga tingkat kesehatannya lebih baik. Dari ODHA yang datang, diketahui hanya sekitar 5 orang yang masih mengkonsumsi kombinasi obat ARV yang menggunakan jenis d4T. Ketika Prof Zubairi bertanya siapakah diantara pengguna ARV tersebut yang mengalami efek samping yang menggangu, beberapa pengguna ARV non d4T menyatakan ada beberapa yang mengalami efek samping dan semua pengguna ARV jenis d4T mengangkat tangan dan menyatakan mereka menerima efek samping akibat kombinasi ARV dengan salah satunya menggunakan d4T.
Salah seorang ODHA perempuan kemudian bercerita di depan bahwa dia sempat menggunakan ARV jenis d4T di masa awal. Ketika itu dia sampai 2 tahun menggunakan obat ini. Dia bercerita jika efek samping obat ini telah menyedot lemak dia di bagian tangan dan kemudian muncul penebalan lemak di bagian lain tubuhnya. “Keluarga saya komplain karena penampilan saya menjadi aneh sehingga kuatir mengundang pertanyaan dari saudara-saudara saya. Saya sekarang lebih bermasalah dengan stigma yang lahir dari berubahnya bentuk fisik tubuh saya ini dibandingkan stigma saya sebagai seorang yang terinfeksi HIV” Sekarang dia telah berganti jenis obat namun masih harus berjuang untuk pemulihan fisiknya sehingga terlihat seperti pada orang umumnya.
Prof Zuabiri kemudian menjelaskan bahwa setiap obat pasti mempunyai efek positif dan negatif. Satu yang dia tekankan. ARV itu sangat membantu ODHA bisa tetap sehat sehingga dia menghimbau setiap ODHA jangan berhenti minum obat ARV. Namun, dia pun berujar bahwa pengalam teman-teman ODHA yang sharing ini perlu dijadikan pembelajaran bagi setiap dokter di Pokdisus RSCM serta dokter lain untuk mengganti peresepan obat ARV jenis d4T dengan obat ARV jenis lain yang lebih aman. Misalnya Tdf (Tenovovir).
Beberapa studi kasus di RSCM juga menunjukkan bahwa ada kemungkinan bahwa pasien yang berpindah dari sebelumnya menggunakan AZT lalu karena anemia kemudian berganti obat menjadi ARV jenis d4T bisa kembali lagi menggunakan obat AZT namun dia berpesan hanya boleh dilakukan dimana kondisi monitoring pasien bisa berjalan baik. Bila tidak, disarankan untuk menggantinya dengan Tenovovir.
Ketika ditemui seusai acara oleh tim advokasi #Stopd4T, Prof Zubairi Djoerban kembali menegaskan pendapatnya bahwa memang sebaiknya ARV jenis d4T diganti dengan jenis ARV yang lebih aman misalnya Tdf (Tenovovir). Tapi sekali lagi dia berpesan kepada Tim Advokasi #Stopd4T untuk selalu mengedepankan kepentingan korban yaitu ODHA yang mengkonsumsi d4T di dalam mengupayakan upaya penggantian obat ARV jenis d4T dengan jenis lainnya yang lebih aman. Jangan sampai kemudian ODHA tidak mengkonsumsi ARV.
Beliau memberikan masukan berharga dengan meminta kepada teman-teman untuk memetakan di daerah mana obat ARV jenis d4T itu masih di distribusikan, daerah mana dimana d4T didistribusikan dan sudah ada obat Tdf yang juga didistribusikan serta daerah mana dimana obat d4T itu didistribusikan namun belum ada obat Tdf yang beredar. Dia berpesan untuk memberikan perlakuan yang berbeda terhadap setiap daerah ini sehingga ODHA tetap bisa mendapatkan pengobatan. Dia pun sepakat jika para dokter di daerah pelan-pelan mulai merespkan obat ARV yang lebih aman kepada ODHA karena efek samping d4T ini bisa berbahaya bagi ODHA.
Di akhir kata ketika tim advokasi #Stopd4T meminta kepada Prof Zubairi Djoerban untuk kembali memimpin gerakan masyarakat untuk memperjuangkan perbaikan akses pengobatan bagi ODHA serta kemungkinan melakukan lisensi wajib kepada ARV bukan hanya lini 1 namun juga Lini 2, beliau berpesan, “Sudah saatnya ODHA-ODHA seperti kalian ini yang berdiri di depan dan meminta pemerintah melakukan perbaikan akses pengobatan kepada ODHA. Jangan hiraukan perasaan bahwa kalian tidak memahami medis klinis karena pada prinsipnya suara kalianlah yang semestinya di dengar karena kalian adalah korban dari Epidemi ini.” Beliau pun menambahkan jika dirinya serta beberapa rekan lainnya selalu siap sedia setiap saat mendukung upaya ODHA guna berjuang meminta perbaikan akses pengobatan bagi seluruh ODHA di Indonesia.