Akses ke obat merupakan elemen penting dari kesehatan publik dan merupakan indikator efektif bagi kesetaraan sosial. Menurut Medecins Sans Frontieres (MSF), sekitar satu per tiga penduduk dunia tidak memiliki akses ke obat-obatan esensial, dan jumlah tersebut meningkat menjadi ½ di beberapa wilayah di Benua Afrika dan Asia. Ketersediaan obat dan layanan kesehatan bervariasi pada tingkat internasional, regional, dan nasional, dengan dampak bagi masing-masing negara.
PBB sendiri menekankan pentingnya upaya untuk meningkatkan akses ke obat, yang kemudian dituangkan ke dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). PBB menetapkan standar minimal akses sebagai ”akses ke 20 obat-obatan esensial, yang tersedia di fasilitas kesehatan yang mudah dijangkau, setidaknya berjarak 1 jam berjalan kaki dari rumah.”
Dalam banyak kasus, obat-obatan yang tidak tersedia ataupun layanan kesehatan yang tidak diberikan secara tepat waktu berdampak pada bertambah parahnya penyakit ataupun meningkatnya penularan yang pada akhirnya, bedampak pada kondisi kesehatan yang memburuk. Penelitian di Benua Afrika dan Asia mengaitkan tingginya angka kematian akibat penyakit menular dengan buruknya ketersediaan obat-obat esensial, khususnya di wilayah terpencil. Padahal, pengobatan yang diberikan secara tepat waktu dengan obat-obatan yang tepat dan terjangkau dapat secara signifikan mengurangi angka kematian. Pun juga pelaksanaan dari tindakan preventif. Permasalahan ini semakin menegaskan pentingnya akses, demi mengurangi angka kematian dan meningkatkan kualitas hidup.
Akses, yang mencakup tidak hanya ketersediaan, tetapi juga pemerataan distribusi, keterjangkauan, dan peningkatan literasi kesehatan, merupakan poin penting dari upaya advokasi yang dilakukan oleh berbagai organisasi yang tergabung dalam Koalisi Obat Murah (KOM) di Indonesia. KOM sendiri merupakan gabungan dari Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dan organisasi pasien yang memiliki concern terhadap isu kesehatan, salah satunya akses ke obat-obatan esensial, dan mewakili berbagai topik penyakit seperti HIV-AIDS, TB, Hepatitis C, kesehatan jiwa, gagal ginjal kronis, dan hipertensi paru.
Pada tanggal 15-17 Desember 2023 di Serpong, KOM mengadakan kegiatan Pertemuan Koordinasi dan Evaluasi KOM. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengidentifikasi tantangan, praktik baik, serta pembelajaran dan poin perbaikan. Juga untuk membahas dan menyusun rencana advokasi bersama untuk tahun 2024. Kegiatan ini dihadiri oleh perwakilan dari sejumlah OMS, yakni Indonesia AIDS Coalition, Jaringan Indonesia Positif, IPPI, Lentera Anak Pelangi, Indonesia for Global Justice, Third World Network, POP TB, PETA, Japeti, REKAT, Peduli Hati Bangsa, Perhimpunan Jiwa Sehat, KPSI, dan YHPI.
Beberapa topik yang dibahas adalah update mengenai upaya banding paten obat TB Bedaquiline yang dilakukan oleh IAC dan IGJ; sekilas informasi mengenai teknis pengajuan banding paten, sharing informasi mengenai pengobatan dan alat diagnostik terbaru untuk HIV-AIDS, TB, dan Hepatitis C; sharing oleh YHPI, REKAT, dan PETA mengenai informasi dasar dan perkembangan obat, alat diagnostik, dan panduan terbaru untuk hipertensi paru dan TB; presentasi kelompok dari masing-masing isu penyakit mengenai sumber daya, tantangan, risiko, dan peluang yang dihadapi, serta Rencana Tindak Lanjut (RTL). Pada akhir kegiatan, disepakati sejumlah poin untuk RTL ke depan yang mencakup tetapi tidak terbatas pada:
- Pertemuan rutin
- Media campaign bersama
- Advokasi obat bersama
- Capacity building dengan topik:
- Logistik/supply chain
- Burnout/stress management
- Climate & health
- Pandemic preparedness
- Website bersama
- Pembuatan roadmap advokasi bersama
- Webinar
- Engagement dengan kelompok pasien kanker & auto-imun