TB merupakan salah satu tantangan terbesar bagi kesehatan masyarakat dunia saat ini. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, atau World Health Organization (WHO), sebanyak 1,3 juta orang meninggal dunia karena TB pada tahun 2022. Pada tahun tersebut, diperkirakan 10,6 juta orang menderita TB, termasuk 1,3 juta anak-anak. Sebetulnya, TB dapat dicegah dan disembuhkan. Namun, TB masih menjadi penyakit menular dengan tingkat kematian tertinggi kedua setelah COVID-19 di tingkat global, di atas HIV-AIDS.
Banyak pasien penyakit ini yang kemudian mengalami resistansi terhadap obat TB, yang sulit disembuhkan dan membutuhkan biaya pengobatan yang lebih mahal. Menurut Laporan TB Global Tahun 2023, Indonesia berada di urutan kedua dari delapan besar negara-negara dunia yang menyumbang dua per tiga kasus TB di dunia.
Mengacu kepada Laporan Program Penanggulangan TB Kementerian Kesehatan Tahun 2023, di Indonesia, angka kematian TB pada pasien negatif HIV adalah 144.000 sementara pasien positif HIV 6.500, dari total kasus pasien TB sebesar 969.000 orang. TB menjadi pembunuh mematikan bagi Orang dengan HIV (ODHIV), yang mana riset menemukan bahwa ODHIV 18 kali lebih berisiko terinfeksi TB dan interaksi TB-HIV saling mempercepat perkembangan penyakit. Tanpa pengobatan yang tepat, diperkirakan 60% penderita TB negatif HIV akan meninggal. Persentase tersebut naik menjadi nyaris 100% bagi penderita TB positif HIV.
Adapun, TB Resistan Obat, atau Drug Resistant TB (DR-TB), masih menjadi bagian dari krisis kesehatan global. DR-TB adalah salah satu bentuk dari TB aktif yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis yang resistan terhadap satu atau lebih dari satu jenis obat TB. DR-TB memiliki beragam bentuk, tergantung pada jumlah dan jenis obat, juga tingkat keparahan resistansi. Pada tahun 2022 di tingkat global, diperkirakan 410.000 orang menderita DR-TB. Menanggapi tantangan tersebut, WHO merekomendasikan rejimen pengobatan selama 6 bulan dengan menggunakan kombinasi obat BPaLM (Bedakuilin, Pretomanid, Linezolid, dan Moksifloksasin). Durasi yang lebih singkat, beban pengobatan lebih rendah, dan efektivitas tinggi menjadi alasan bagi rekomendasi dari rejimen baru. Namun, hanya 2 dari 5 pasien TB resistan obat mengakses pengobatan pada tahun 2022.
Mengapa Akses ke Obat itu Penting?
Permasalahan ini menyorot pentingnya akses yang berkeadilan ke obat. Akses ke obat merupakan elemen penting dari kesehatan publik dan merupakan indikator efektif bagi kesetaraan sosial. Menurut Medecins Sans Frontieres (MSF), sekitar satu per tiga penduduk dunia tidak memiliki akses ke obat-obatan esensial, dan jumlah tersebut meningkat menjadi separuh di beberapa wilayah di Benua Afrika dan Asia. Ketersediaan obat dan layanan kesehatan bervariasi pada tingkat internasional, regional, dan nasional berdampak pada seluruh negara di dunia, terlepas dari tingkat pendapatan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri menekankan pentingnya upaya untuk meningkatkan akses ke obat, yang kemudian dituangkan ke dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Hal ini tidak lepas dari realita bahwa pada banyak kasus, obat-obatan yang tidak tersedia ataupun layanan kesehatan yang tidak diberikan secara tepat waktu mengakibatkan bertambah parahnya penyakit ataupun meningkatnya penularan yang pada akhirnya, berdampak pada kondisi kesehatan yang memburuk. Penelitian di Benua Afrika dan Asia mengaitkan tingginya angka kematian akibat penyakit menular dengan buruknya ketersediaan obat-obat esensial, khususnya di wilayah terpencil. Padahal, pengobatan yang diberikan secara tepat waktu dengan obat-obatan yang tepat dan terjangkau dapat secara signifikan mengurangi angka kematian. Pun juga pelaksanaan dari tindakan preventif. Permasalahan ini semakin menegaskan pentingnya akses, demi mengurangi angka kematian dan meningkatkan kualitas hidup.
Akses, yang mencakup tidak hanya ketersediaan, tetapi juga pemerataan distribusi, keterjangkauan, dan peningkatan literasi kesehatan, merupakan poin penting dari upaya advokasi yang dilakukan oleh Indonesia AIDS Coalition (IAC).
Sekilas mengenai Banding Paten
Salah satu langkah konkret yang dilakukan oleh IAC sehubungan dengan akses ke obat adalah mengajukan oposisi paten. Oposisi paten, yang merupakan salah satu bentuk dari mekanisme fleksibilitas TRIPS, adalah proses hukum yang memungkinkan pihak ketiga atau publik untuk secara resmi mempertanyakan atau mengajukan banding terhadap keberadaan dari suatu paten. Mekanisme ini dirancang untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang berkepentingan untuk melawan atau memperdebatkan paten yang diajukan oleh individu ataupun perusahaan.
Dalam perjanjian Trade Related Aspects on Intellectual Property Rights (TRIPS) yang ditandatangi oleh semua negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), termasuk Indonesia, inventor memiliki hak monopoli untuk memproduksi, mendistribusikan, dan mengeksploitasi secara ekonomi, juga melarang pihak lain untuk menggunakan invensinya. Monopoli ini membuat harga obat menjadi tinggi dan sulit dijangkau oleh masyarakat. Terlebih, terdapat kasus saat perusahaan farmasi berupaya untuk memperpanjang masa perlindungan paten dengan mematenkan modifikasi kecil dari produk yang sudah ada, atau yang dikenal sebagai praktik evergreening. Hal ini semakin menghambat akses ke obat karena dengan adanya paten, maka produksi versi generik tidak dapat dilakukan. Tanpa adanya kompetisi, harga obat akan sulit turun.
Tujuan dari oposisi paten adalah untuk memastikan bahwa paten yang diberikan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam UU Paten. Oposisi paten tidak dimaksudkan untuk menentang semua paten dan menghambat inovasi. Akan tetapi, memastikan bahwa permohonan paten yang diajukan betul-betul memenuhi syarat sehingga layak diberikan paten. Selain juga mempertimbangkan kepentingan publik, utamanya hak atas kesehatan.
Dalam banding paten, pihak yang melakukan oposisi dapat mengajukan argumen atau bukti yang menunjukkan bahwa paten yang diajukan tidak memenuhi persyaratan, yakni kebaruan (novelty), langkah inventif (inventive steps), dan kemungkinan penerapan di industri (industrial applicability), sehingga tidak layak untuk diberikan paten. Indonesia sendiri mengenal apa yang disebut sebagai post-grant opposition, atau upaya oposisi yang dilakukan setelah paten diberikan (granted). Dalam istilah hukum Indonesia, post-grant opposition, disingkat oposisi paten, juga dikenal sebagai banding paten.
Proses Banding Paten Bedakuilin
Melalui kerjasama dengan Indonesia for Global Justice (IGJ), Indonesia AIDS Coalition (IAC) melakukan banding paten terhadap obat DR-TB, Bedakuilin, utamanya adalah formulasi tablet yang dapat terdispersi. Pengajuan permohonan banding paten telah dilakukan sejak tahun 2022, dengan bantuan firma hukum SIPCO, dan diajukan kepada Komisi Banding Paten, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), Kementerian Hukum dan HAM. Ini adalah kali pertama Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) mengajukan banding paten. Tidak hanya untuk obat, tetapi secara keseluruhan, sehingga kasus ini dapat menjadi preseden bagi upaya-upaya selanjutnya.
Bedakuilin sendiri merupakan bagian dari rejimen pengobatan lini pertama untuk DR-TB yang direkomendasikan dalam pedoman WHO. Permohonan paten untuk Bedakuilin diajukan oleh Johnson & Johnson melalui anak perusahaan Janssen, yang disetujui pada bulan Februari 2022. Melalui pemberian paten ini, maka masa perlindungan paten untuk obat tersebut diperpanjang hingga 2036, dari yang sebelumnya 2024. Atas dasar ini maka IAC dan IGJ mengajukan banding paten.
Proses banding paten berlangsung selama 10 ronde, dimulai dari bulan November 2022 hingga November 2023. Proses dimulai dengan pembacaan dari pokok-pokok permohonan banding paten dari pihak pemohon. Inti yang disampaikan adalah bahwa paten yang diajukan terhadap Bedakuilin mencederai hak-hak masyarakat yang mengidap penyakit TB dan tidak memenuhi syarat pemberian paten, yakni langkah inventif dan kebaruan, sehingga tidak layak diberikan paten. Tahap ini kemudian dilanjutkan dengan saling bertukar tanggapan antara pihak pemohon dan termohon.
Pada bulan paruh kedua tahun 2023, dimulai pemeriksaan terhadap saksi. Yakni, saksi ahli hukum. Poin yang disampaikan adalah walau di UU Paten tidak disebutkan secara spesifik mengenai pihak berkepentingan yang memiliki hak untuk mengajukan banding, OMS dapat dianggap sebagai pihak yang berkepentingan karena mewakili kepentingan publik, yang dirugikan karena harga obat yang mahal. Dengan demikian, interpretasi atas frasa ‘pihak yang berkepentingan,’ dapat dilakukan secara luas, dengan catatan hal tersebut dapat dibuktikan. Lebih lanjut, poin lain yang menjadi catatan adalah bahwa paten bersifat teritorial, atau berbeda-beda di masing-masing negara tergantung pada sistem hukum dan konteks sosial yang berlaku. Karenanya, bisa saja paten yang telah diberikan di satu negara tidak diberikan di negara lain.
Setelah saksi ahli hukum, pemeriksaan dilanjutkan pada saksi fakta dan saksi ahli farmasi yang menegaskan bahwa permohonan paten yang diajukan tidak memenuhi syarat langkah inventif dan kebaruan, sehingga tidak layak mendapatkan paten. Kesimpulan ini diambil setelah menelusuri dokumen-dokumen bukti yang dikenal sebagai prior arts, juga konsultasi dan kerja sama dengan ahli, atau persons skilled in the arts, utamanya di bidang farmasi. Lebih lanjut, kembali ditekankan bahwa perlu adanya keseimbangan antara perlindungan paten demi mendorong inovasi dengan kepentingan publik, utamanya untuk produk farmasi yang menyangkut nyawa manusia dan merupakan kebutuhan primer yang mendesak.
Setelah berproses selama hampir 1 tahun, Majelis Hakim kemudian menyampaikan putusan atas kasus. Keputusan dari Majelis Hakim untuk tidak menerima permohonan banding paten Bedakuilin atas dasar legal standing IAC dan IGJ sebagai pemohon merupakan pukulan bagi upaya advokasi kami. Terutama apabila mengingat bahwa perpanjangan paten Bedakuilin menghilangkan potensi bagi produksi versi generik. Selain itu, paten juga membuat harga obat menjadi mahal. Menurut data, harga Bedakuilin versi paten ditetapkan sebesar USD 3.000 per pasien per enam bulan untuk negara maju dan USD 900 per pasien per enam bulan untuk negara berkembang, artinya di negara berkembang pun diperlukan sekitar USD 150 per pasien untuk satu bulan pengobatan. Padahal menurut studi yang dipaparkan di European AIDS Conference, berdasarkan perkiraan biaya bahan aktif, eksipien, formulasi, pengemasan, dan margin keuntungan yang wajar, harga aktual Bedakuilin adalah USD 8,8–16,4 per pasien per bulan. Dapat dilihat bahwa harga yang ditetapkan oleh Janssen adalah berkali-kali lipat dibandingkan harga asli.
Di sisi lain, Indonesia menduduki peringkat kedua bagi kasus TB di dunia pada tahun 2023, dengan total kasus sebanyak 969.000 dan jumlah kematian mencapai 144.000 per tahun atau 16 per jam. Belum lagi jumlah kasus DR-TB yang diperkirakan mencapai 28.000 kasus dari jumlah total, yang mana Bedakuilin merupakan bagian dari rejimen pengobatan lini pertama. Poin ini yang menjadi perhatian, sehingga sebelum mengajukan banding paten di tahun 2022, IAC juga telah mengirimkan surat keberatan kepada DJKI sehubungan dengan pemberian paten Bedakuilin.
Putusan dari Majelis Hakim ini amat disayangkan dan sebagai organisasi berbasis komunitas yang berkontribusi pada upaya untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat dalam program kesehatan nasional di Indonesia, IAC berkomitmen untuk terus memperjuangkan akses terjangkau ke obat-obatan esensial. Tidak hanya untuk HIV-AIDS, tetapi juga TB, Hepatitis C, dan berbagai penyakit lain.