Prof DR Siti Musdah Mulia, MA

Gender dan Islam

Pertemuan kali dibuka dengan review pertemuan sebelumnya yang difasilitasi oleh Hartoyo, Kamis,19/4/2012. Ada 12 peserta diajak untuk menulis kegiatan yang sudah dilakukan kemarin di kertas metaplan berwarna kuning. Kemudian kertas-kertas tersebut kembali ditempelkan di “jemuran celana dalam“. Hasilnya umumnya peserta dapat menjelaskan perbedaan sex dan gender. Sex jenis kelamin yang secara biologis sedangkan gender peran social antara laki-laki dan perempuan, dapat dipertukarkan. Selain beberapa hal mengenai peran gender muncul dari review peserta.

Pada pertemuan ke-4 ini, yang akan mendatangkan narasumber Prof.Siti Musda Mulia yang akan bicara tentang Gender dan Islam. Selain peserta pelatihan juga beberapa peserta non komunitas yang hadir sebanyak enam orang.

Tepat pukul 10.56 WIB, acara diskusi bersama narasumber dimulai. Kegiatan diskusi dimoderatori oleh Putri, selaku fasilitator pelatihan. Menurut Putri, bahwa pandangan agama sering menjadi salah satu tantangan dalam upaya perjuangan keadilan gender. Setelah suasana menjadi “panas”, sesi diberikan kepada bu Musdah. Bu Musdah mengajak peserta berbicara mengenai masalah dan isu yang dihadapi sehari-hari terkait dengan gender dan Islam. Karena menurut Ibu Musdah, bicara soal keadilan gender memang butuh waktu yang panjang, tidak bisa hanya dalam waktu dua jam dapat memahami Islam dan Gender. Sehingga Ibu Musdah berangkat dari apa yang menjadi persoalan komunitas selama ini.

Selama sepuluh menit Ibu Musdah menampung pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari peserta.

Beberapa pertanyaan peserta diantaranya :

  • Apakah perempuan dapat menjadi pemimpin?
  • Bagaimana mengenai hak waris antara laki-laki dan perempuan yang selama ini dipahami sebagai 2:1?
  • Bagaimana pandangan ibu dengan pasangan homoseksual serta soal Waria. Masih ada beberapa pertanyaan khas yang ditanyakan oleh peserta. Sampai peserta ada yang menanyakan tentang pernikahan sejenis.

Bu Musdah memulai pembahasan ini dengan apa yang dimaksud dengan budaya patriarchal, budaya dimana laki-laki harus selalu menjadi pemimpin atau diutamakan.

Prof DR Siti Musdah Mulia, MA
Prof DR Siti Musdah Mulia, MA

Penjelasanpun dimulai dari Islam yang datang pada masa budaya jahiliyah dengan tujuan untuk memperbaikinya. Islam mengajarkan tauhid dimana hanya Allah yang harus disembah, tauhid mengajarkan pembebasan dari tuhan-tuhan kecil (seperti kekuasaan, uang, penindasan). Makna Tauhid akhirnya untuk kesetaraan, dan keadilan yang merupakan nilai-nilai universal.

Artikel terkait  Kegiatan Training of Trainers KBG

Selain itu, Islam menekankan bahwa kita harus mengacu hal yang bisa “dipercaya” akal sehat manusia. Maksudnya Islam mengajarkan bagaimana cara beragama dengan cara yang rasional. Bagaimana hubungan manusia dan Tuhannya dengan cara taqwa. Ketaqwaan seseoranglah yang dinilai oleh Tuhan. Bukan karena jenis kelamin, orientasi seksual maupun jenis kelaminya.

Sehingga sebagai manusia, kita tidak bisa memberikan penilaian kepada manusia lainnya karena manusia adalah mahluk yang dinilai oleh Tuhan. Dalam upaya pencapaian taqwa, manusia melakukan ritual keagamaan seperti sholat (dalam konteks Islam) dengan tujuan mencegah keji dan munkar. Keji dan munkar dalam konteks ini artinya kegiatan yang mencelakai manusia lainnya.

Jadi ibadah sholat yang benar harus tercermin pada tindakan sehari-hari pada manusia lainnya. Penuh kasih sayang pada sesama tanpa membedakan dalam hal apapun. Karena ibadah kita sebenarnya bukan untuk Tuhan tetapi untuk kebaikan manusia lainnya.

Menurut Ibu Musdah, Islam memperkenalkan 2 jenis ibadah, yaitu Mahdah (sholat, puasa, dan ibadah ritual lainnya) dan Ghoiru Mahdah (apapun yang terkait memberikan kebaikan kepada manusia lainnya). Selama ini, ulama-ulama sering mengajarkan ibadah yang paling sering diajarkan pada umat adalah yang golongan Mahdah. Akibatnya umat asik sibuk “urusin atau membela” Tuhan yang justru kurang memperhatikan sisi kemanusiaan.

Padahal esensinya agama harus memberikan manfaat kepada diri sendiri, keluarga, dan masyarakat sekitar. Tuhan tidak memerlukan apapun dari manusia karena dia adalah pencipta.

Bu Musdah kemudian menjelaskan tentang kepemimpinan laki-laki yang banyak salah dipahami. Dalam intepretasi (pemahaman) yang tepat di bahasa Arab bahwa laki-laki itu adalah mitra dari perempuan. Bukan pemimpin terhadap perempuan. Dalam sejarah Rasullah, dalam kehidupan berkeluarga nabi Muhammad dan Siti Khadijah, justru Khadijah-lah yang menjadi pemimpin dalam keluarga karena ia yang mengatur keuangan keluarga dan mencari nafkahnya. Bahkan Rasullah selalu berdiskusi dengan istrinya Khadijah ketika akan mengambil sesuatu keputusan.

Artikel terkait  Pelatihan Etika Medis

Karena dalam ajaran Islam, baik perempuan maupun laki-laki harus menjadi khalifah fil ard yaitu pemimpin umat. Sehingga jika ingin belajar agama, sebaiknya diiringi dengan belajar sejarahnya juga.

Suasana Diskusi
Suasana Diskusi

Untuk masalah warisan, Islam menekankan bahwa baik dia laki-laki atau perempuan, merdeka atau budak, dewasa atau anak-anak, mereka mendapatkan warisan. Jumlah dalam pembagian waris itu sangat dinamis, tergantung pada kondisi keluarga yang akan menerima waris. Jadi sangat tidak benar bahwa laki-laki utama dalam soal waris didalam ajaran Islam. Semua sesuai konteks dan sepakatan bersama dari keluarga tersebut.

Kalau mengenai perkawinan, sepengetahuan Ibu Musdah dalam agama Islam tidak ada peraturan tentang pernikahan, tetapi bicara soal berpasangan. Dan itu tidak disebutkan secara jelas pasangan heteroseksual ataupun homoseksual. Jadi Ibu Musdah sendiri berpikir bahwa selama pernikahan tersebut tidak merugikan salah satu pihak termasuk menyakiti orang tua, maka ia bisa menikah. Baik homoseksual maupun heteroseksual. Pernikahan yang setara,adil,tidak poligami,tidak diskriminasi dan tidak melakukan pemaksaan, itu yang penting.

Sepanjang pencarian bu Musdah, beliau tidak pernah menemukan ayat yang mewajibkan seseorang untuk menikah, yang dibahas adalah kontrak antar pasangan. Pernikahan adalah pilihan yang hukumnya mubah. Hukum ini bisa berubah tergantung kondisi personal tersebut. Jadi pernikahan bukan sebuah kewajiban tetapi sebuah pilihan merdeka setiap individu.

Bu Musdah menutup diskusi dengan cerita sufi dimana kelompok tersebut tidak hanya melihat agama sebagai fiqih namun fokus kepada aspek kemanusiaannya. Cerita ini tentang seseorang yang alim yang bertetangga dengan perempuan pekerja seks. Sang alim selalu memandang pekerja seks dengan pikiran buruk sedangkan sang pekerja seks selalu memandang positif terhadap sang alim. Di akhir cerita seorang yang alim tersebut masuk neraka karena dia takabur. Sang alim protes dengan Tuhan, menurut Tuhan; Neraka dan Surga adalah milik Tuhan dimana Ia bisa menentukan siapapun yang akan masuk surga atau neraka. Termasuk perempuan prostitusi itu dimasukan kedalam surga.

Artikel terkait  Workshop Social Media and HIV: a way to transform toward outreach 2.0

Sebelum istirahat, fasilitator (Putri) mengajak peserta untuk menuliskan hal-hal yang mereka sangat setuju, ragu-ragu, dan sangat tidak setuju mengenai materi yang tadi sudah diberikan. Kertas metaplan berwarna merah untuk pernyataan tidak setuju, warna hijau untuk yang setuju, dan warna putih untuk yang ragu-ragu. Peserta memaparkan ide-ide mereka lalu menempelkannya di tembok.

Berkumpul bersama peserta
Berkumpul bersama peserta

Sekitar 90% peserta setuju dengan materi yang diberikan bu Musdah, 6% masih ragu-ragu karena butuh informasi yang lebih lanjut, dan 4% tidak setuju namun lebih besar karena banyak istilah yang tidak dimengerti. Umumnya yang masih ragu-ragu dan tidak setuju tentang pernikahan sejenis.
Fasilitator mengajak peserta untuk saling berdiskusi mengenai pernyataan yang telah mereka buat. Semua meyampaikan alasan mengapa setuju, tidak setuju dan ragu-ragu. Dalam hal ini setiap peserta memanfaatkan kesempatan ini dengan baik untuk memaparkan pendapatnya, dan saling mengkritisi satu sama lain.

Debat menarik sempat terjadi ketika salah satu peserta menyatakan tidak setuju dengan pernikahan sejenis, meskipun akhirnya mereka bersepakat bahwa setiap orang berhak mempunyai nilai pribadi yang berbeda dengan orang lain. Berbagai perbedaan yang ada, membuat manusia menjadi kaya namun yang terpenting adalah bagaimana sikap toleransi serta saling menghargai perbedaan tersebut. Demikian acara ini akhirnya ditutup tepat pukul 14:48 WIB.

Share this post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

On Key

Related Posts

Vacancy: Content Writer Consultant
Job Vacancy

Vacancy: Content Writer Consultant

The Indonesia AIDS Coalition is a community-based organization that contributes to increase transparency, accountability, and community participation in AIDS programs through collaboration with various stakeholders,

Read More »
Uncategorized @id

Directory Link

Form Online Absensi Online Assesment COVID-19 IAC Staff Survey Evaluasi Program IAC 2019 Request Zoom Newsletter  Dokumen Final SOP IAC Dokumen submit PR 2020 Milis

Read More »
Hukum dan Hak asasi Manusia
Artikel

Penguatan Pemahaman Hukum dan HAM

Hari jumat tanggal 15 Juli 2022 lalu, IAC melakukan pengembangan kapasitas untuk teman-teman populasi kunci terkait dengan Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam pertemuan

Read More »

want more details?

Fill in your details and we'll be in touch