patentlaw

Pemerintah Diskriminasi Penyakit Tidak Menular dalam RUU Paten!

Dewan Perwakilan Rakyat telah menetapkan bahwa RUU Paten adalah satu dari 37 RUU Prolegnas yang menjadi prioritas pembahasan di tahun 2015. Saat ini, pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia telah menyusun sebuahdraft RUU yang akan menjadi subyek pembahasan di DPR.

Tidak bisa dipungkiri bahwa adanya Hak paten telah menempatkan pabrikan obat pemegang hak paten menjadi satu-satunya pihak yang bisa menentukan harga jual produknya. Kerap kali harga jual yang ditetapkan ini jauh diatas kemampuan dari rakyatdisebuah Negara untuk membelinya.

Adanya hak paten juga telah menghilangkan aspek kompetisi sehingga harga obat tidak bisa turun. Data mencatat, karena adanya kompetisi antara obat versi paten dengan Obat versi generik, harga obat ARV untuk terapi HIV dan AIDS telah bisa ditekan dari semula berharga US$ 11.000 di awal ketika obat ini ditemukan sekitar tahun 1986 menjadi hanya US$ 70 di tahun 2015 ini. Penurunan harga ini hanya bisa terjadi ketika obat generic diberikan ruang untuk hadir dan menciptakan iklim kompetisi yang sehat dengan obat paten.

Artikel terkait  Diskusi Bersama Kompolnas

Argumentasi bahwa paten diperlukan untuk menunjang penelitian obat baru oleh pabrikan obat pun bisa dipatahkan dengan dua fakta, yang pertama adalah berdasarkan penelitian di Kanada, dari seluruh obat yang mendapatkan paten itu hanya 5%yang sebenarnya obat baru sementara sisanya adalah obat yang dipatenkan ulang. Fakta kedua, data menunjukan bahwa pembayaran pajak bagi komponen penelitian perusahaan obat tidak menunjukan kenaikan yang signifikan layaknya kenaikanprofit dari perusahaan tersebut.

Pemerintah dalam RUU paten telah berupaya mengakomodir adanya akses kepada obat murah namun sayangnya masih terbatas bagi penyakit yang sifatnya menular dan menciptakan endemic atau pendemi. Akses bagi obat murah ini bisa terjadi jika pemerintah menggunakan mekanisme TRIPS Flexibilities yang diatur dalam RUU ini berupa Lisensi Wajib dan Penggunaan paten oleh Pemerintah dan diatur dalam Pasal 79 dan 104.

Namun sayangnya, isi kedua pasal ini sangat mendiskriminasi penyakit tidak menular. Ini sesuai dengan bunyi klausul penjelasan Pasal 79 serta Pasal 104 yang isinya: Penjelasan Pasal 79 yang dimaksud dengan ‘kepentingan nasional yang mendesak’ antara lain dalam bidang kesehatan penyakit misalnya obat yang masih dilindungi paten di Indonesia yang diperlukan untuk menanggulangi penyakit yang bersifat endemi atau pandemi… dan penjelasan Pasal 104 Huruf b yang dimaksud dengan kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat antara lain di bidang kesehatan seperti obat-obatan yang masih dilindungi paten di Indonesia yang diperlukan untuk menanggulangi penyakit yang berjangkit secara luas (endemi).

Dari penjelasan kedua ayat ini, jelas yang dimungkinkan untuk terbukanya akses obat murah hanya penyakit menular namunpenyakit tidak menular tetap tidak bisa memanfaatkan fasilitas TRIPS Flexibilities ini guna mendapatkan obat yang murah.

Artikel terkait  Seminar Ikatan Konselor Menyusui Indonesia "Peningkatan Dukungan Menyusui untuk ODHA (Ibu dengan HIV Positif)"

Hal ini sangat kontra produktif bagi program kesehatan Indonesia. Terutama jika merujuk pada data Kementerian Kesehatan bahwa mayoritas dari 10 penyakit yang paling menyebabkan kematian di Indonesia adalah penyakit tidak menular. Akses obat murah juga sangat diperlukan bagi pasien-pasien penyakit tidak menular ini sebab kerapkali nyawa mereka tidak tertolong dikarenakan ketidak mampuan finansial mereka dalam membeli obat.

Semangat Presiden Jokowi untuk mensejahterakan seluruh rakyatnya dengan cara menjaga kesehatan seolah menjadi tercoreng dengan adanya RUU Paten yang dibuat oleh Kemenkumham. RUU ini kedepan akan menjadi payung penyelamat guna Indonesia mampu produksi dan import obat-obatan generik murah. Adanya RUU yang diskriminatif ini telah membayakan jutaan nyawa rakyat Indonesia yang sekarang dan kedepan membutuhkan obat untuk mengobati penyakitnya.

Melihat siklus pembahasan UU Paten yang semula disahkan tahun 2001 maka tahun 2015 ini menjadi sangat penting bagi kita semua. Koalisi Obat Murah menuntut adanya transparansi proses dan akuntabilitas dari pemerintah maupun DPR dalam proses pembahasan RUU ini kedepan. Hal inisangat esensial sebab bila kita tidak rubah RUU Paten ini dan mengakomodir penyakit tidak menular maka sampai 15 tahun kedepan rakyat Indonesia masih akan berkutat dengan persoalan harga obat yang mahal.

Artikel terkait  Pengumuman Hasil Seleksi Organisasi Mitra Implementasi Program CSS-HR & FSW 2022-2023

Informasi lebih lanjut:

Aditya Wardhana, Juru Bicara Koalisi Obat Murah (KOM): +62 811 9939399

 

Views: 1

Share this post

On Key

Related Posts

want more details?

Fill in your details and we'll be in touch