pARV: Pengobatan HIV Ramah AnakDan Urgensi Pengadaannya

Sebagai pengobatan HIV, ARV atau antiretroviral sudah mengalami cakupan distribusi yang cukup memadai di Indonesia. Akses ARV dapat dengan mudah dilakukan melalui aplikasi SIHA, di mana aplikasi tersebut berfungsi sebagai tracker pengambilan ARV bagi ODHIV yang telah terdaftar.

ARV yang ditujukan sebagai obat untuk menekan HIV dalam tubuh ini, biasanya berbentuk tablet dengan ukuran yang cukup besar. Namun, bentuk sediaan ARV ini kemudian menjadi kendala—terlebih bagi ADHIV atau anak dengan HIV—di mana mereka tak selalu cocok dengan obat ARV; baik dari segi ukuran, rasa, dan bentuk sediaannya.

Kecocokan ADHIV dengan ARV ini melekat pada banyak faktor; seperti kemauan, kepatuhan, dan pengertian ADHIV akan konsumsi obat itu sendiri. Walaupun dengan bantuan caregiver seperti orang tua, wali, atau pengasuh, banyak dari ADHIV yang pada akhirnya lalai dalam mengonsumsi ARV; akibat ukuran, rasa, dan bentuk sediaannya yang tidak ramah anak.

Sifat ‘tidak ramah anak’ pada ARV sendiri merujuk pada ukurannya yang terlalu besar, rasa yang terlalu pahit, ataupun bentuk sediaan yang tidak familiar untuk mereka konsumsi. Pada akhirnya, kendala utama bagi ADHIV menjurus pada kepatuhan yang rendah dalam pengobatan mereka. Dalam jangka panjang, hal ini tentu saja akan berakibat buruk bagi ADHIV.

Indonesia menerapkan kebijakan Treat All sesuai dengan rekomendasi WHO, yang mana terapi ARV diberikan kepada semua ODHIV, baik dewasa maupun anak-anak, terlepas dari stadium klinis dan nilai CD4. Namun, terdapat beberapa tantangan yang menjadi kendala utama bagi komunitas ADHIV; seperti pengobatan ARV yang tidak ramah anak, minimnya jumlah alat tes EID yang menyebabkan penanganan terhambat, kurangnya dukungan psikososial yang diterima secara kolektif oleh komunitas ADHIV, serta stigma yang beredar di masyarakat—yang kemudian berkembang menjadi diskriminasi bagi mereka. 

Selain itu, isu biopsikososial seperti tingkat kepercayaan diri yang rendah, tidak adanya rasa penerimaan diri, dan kurangnya pemahaman mengenai HIV serta manfaat pengobatan ARV juga menjadi kendala yang dihadapi oleh komunitas ADHIV dalam keseharian mereka. Berbeda dengan ODHIV yang telah dewasa, ADHIV adalah anak-anak dengan rentang usia 0 – 14 tahun—yang mana kondisi fisik, emosi, serta kognitif mereka masih berada dalam tahap perkembangan. Maka dari itu, diperlukan adanya perhatian khusus dalam menangani hal ini.

Rasa lelah dalam mengonsumsi obat atau treatment fatigue juga seringkali terjadi pada ADHIV. Akibat kurangnya edukasi terhadap HIV dan pengobatannya, tak jarang ADHIV menjadi lalai akan konsumsi obat mereka. Namun pada beberapa kasus lain, ADHIV yang sudah memahami informasi mengenai HIV dan sadar akan pentingnya pengobatannya seringkali ‘terjebak’ dengan ARV yang bersifat tak ramah untuk mereka konsumsi.

ADHIV menghadapi sejumlah tantangan dalam mengakses pengobatan. Berdasarkan hasil studi ‘Snapshot Situasi Anak dengan HIV di Indonesia’ oleh Indonesia AIDS Coalition (IAC), ADHIV masih belum mendapatkan perlindungan yang optimal sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Hampir seluruh ADHIV yang diwawancara dalam studi mengaku mengkonsumsi ARV yang diperuntukkan bagi orang dewasa.

Menurut Lentera Anak Pelangi, hanya tersedia dua formulasi ARV yang ramah anak di Indonesia—masing-masing berbentuk FDC atau fixed dose combination dengan formulasi pediatrik. Pun demikian, pARV (pediatric antiretroviral) atau ARV ramah anak atau ini baru tersedia pada tahun 2019 dengan distribusi yang belum merata ke seluruh Indonesia.

Hal ini memaksa ADHIV untuk mengonsumsi ARV dewasa dengan berbagai cara; seperti memotong atau membelah ARV tablet menjadi ½ atau ?, menggerus ARV tablet, meminum ARV sirup dengan tambahan pelarut 40% alkohol, dan mengonsumsi ARV racikan—yang mana memerlukan biaya tambahan. Berbagai cara konsumsi ARV yang bertujuan untuk memudahkan ADHIV ini seringkali dibebankan pada caregiver seperti orang tua, wali, atau pengasuh, yang mana mereka tak selalu memiliki keterampilan khusus dengan obat-obatan sehingga sangat mungkin untuk melakukannya dengan tidak akurat. Hal ini menyebabkan pemberian dosis yang tidak tepat, dan dikhawatirkan akan berpengaruh pada efektivitas ARV yang dalam jangka panjang bisa menjadi tidak optimal. Ditambah lagi, ARV tablet juga tidak sepenuhnya larut dalam air.

Selain tablet berukuran besar dan sirup dengan rasa pahit, ARV juga seringkali tersedia dalam bentuk kaplet atau tablet salut yang tidak dilengkapi dengan garis potong. Hal ini tentu saja semakin menyulitkan pemotongan tablet ARV, menyebabkan dosis obat yang semakin tak tepat untuk ADHIV.

Lalu, dibandingkan dengan populasi anak, jumlah ADHIV di Indonesia terhitung relatif sedikit. Hal ini kemudian menjadi salah satu kendala dalam pengadaan pARV atau ARV ramah anak, karena harganya yang lebih mahal dengan kebutuhan yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan ARV dewasa.

Sehubungan dengan akses pARV, UNAIDS menghimpun beberapa kendala yang seringkali dihadapi oleh ADHIV; seperti kurangnya pengetahuan mengenai HIV dan kesehatan reproduksi; stigma dan diskriminasi; keterbatasan jenis dan jumlah pARV atau ARV ramah anak; serta layanan fasilitas kesehatan yang tidak inklusif—terkait jam dan lokasi layanan, komunikasi petugas, syarat pendampingan orang tua, dan lain sebagainya. Sementara, Lentera Anak Pelangi menambahkan beberapa faktor lain; yaitu ketidaksiapan layanan untuk menyediakan pARV atau ARV ramah anak—terutama di daerah luar Jakarta, belum tersedianya pARV lini kedua, dan biaya tambahan untuk menggerus dan meracik obat.

Terkait lisensi obat, Indonesia termasuk dalam negara penerima voluntary license untuk ABC, DTG, LPV/r, RTV, dan RAL pediatrik. Salah satunya adalah Dolutegravir, yang merupakan obat lini pertama yang direkomendasikan oleh WHO, tersedia dalam bentuk tablet dispersible dengan rasa buah untuk anak. Saat ini juga telah tersedia kombinasi obat ARV dengan regimen Abacavir + Lamivudine + Dolutegravir dalam bentuk sediaan kombinasi dosis tetap dispersible. Namun, produk tersebut belum teregistrasi dan tersedia di Indonesia.  Maka dari itu, IAC bersama program CHILD-LIFE berupaya untuk mendorong pengadaan pARV atau ARV ramah anak dan mendistribusikannya secara merata ke seluruh wilayah Indonesia. Tersedianya beragam kombinasi obat ARV dengan bentuk sediaan yang lebih mudah ditoleransi oleh ADHIV akan memudahkan mereka untuk dapat secara patuh dan konsisten mengonsumsinya. Hal ini merupakan salah satu kunci demi mengakhiri AIDS pada tahun 2030.

Share this post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

On Key

Related Posts

Vacancy: Content Writer Consultant
Job Vacancy

Vacancy: Content Writer Consultant

The Indonesia AIDS Coalition is a community-based organization that contributes to increase transparency, accountability, and community participation in AIDS programs through collaboration with various stakeholders,

Read More »
Lowongan Kerja

Vacancy Konsultan untuk Project SHIFT

  I. Latar Belakang Dalam penilaian eligibilitas terakhir Global Fund, Indonesia, sebuah negara berpenghasilan menengah, dianggap memenuhi syarat untuk mendapatkan dukungan Global Fund dan tidak

Read More »
Artikel

Kegiatan ERP Training II Rollout to SR

Indonesia AIDS Coalition (IAC) merupakan organisasi berbasis komunitas yang mempunyai misi untuk bekerja dengan populasi kunci demi menjamin pemenuhan hak-hak Orang dengan HIV (ODHIV), mendorong

Read More »
Artikel

Memahami HAM dari Kisah Diri

Dari Seksualitas ke Pengantar HAM Pukul satu siang, Kamis 24 Mei 2012, di ruangan beralas karpet, tak kurang dari 15 orang duduk melingkar. Mereka mantan

Read More »

want more details?

Fill in your details and we'll be in touch