Untuk para Korban Narkoba

Tengkorak Adiksi
Tengkorak Adiksi

Afriani Susanti, pengemudi mobil Xenia yang menabrak trotoar hingga 9 orang tewas dan 3 luka-luka di Tugu Tani Jakarta Pusat (22/01/2012), meninggalkan cerita duka yang mendalam. Menurut laporan kepolisian, ketika mengendarai mobil, Afriani dalam kondisi mabuk akibat minuman beralkohol dan mengkonsumsi narkoba. Sudah dapat dipastikan Afriani tidak dalam kondisi “normal atau tidak dalam kondisi sehat”. Apapun kondisinya, Afriani tentu harus bertanggungjawab atas tindakannya, apalagi kejadian itu membawa luka mendalam terhadap keluarga korban maupun keluarga Afriani sendiri.

Pertanyaannya selanjutnya, apakah Afriani hanya pengguna atau pengedar narkoba? Itu yang harus dicari tahu oleh pihak penyidik (kepolisian). Jika dia pengguna narkoba, menurut UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika: pengguna Narkoba bukan kriminal tapi sebagai korban yang harus direhabilitasi (pasal 54, UU 35/2009: Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial).
Hal ini dipertegas kembali oleh Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2009 dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 tentang penempatan pengguna Narkotika pada tempat rehabilitasi medis dan sosial. Kedua kebijakan itu jelas menyatakan bahwa pengguna narkoba bukanlah pelaku kriminal tetapi korban yang masuk dalam kategori “pesakitan”. Sehingga hal itulah yang harus dikaji lebih dalam, apakah Afriani pengguna (korban narkotika) ataupun pengedar narkoba (pelaku)?

Artikel terkait  IAC's Speech in the Open Government Partnership Asia Pacific Regional Conference on 6-7 May 2014 in Bali

Walau kebijakan narkotika sudah jelas membedakan mana pelaku dan mana korban, tetapi yang terjadi pada kasus narkotika, para pengguna justru dikenakan sanksi sebagai pengedar (sanksi lebih dari 5 tahun). Dari hasil penelitian Gerakan Korban Napza Banten (GKNB) pada 2010 terhadap 33 orang di Lembaga Pemasyarakatan Pemuda Tangerang menunjukkan bahwa para pengguna (korban napza) justru dikenakan sanksi sebagai pengedar, bukan sebagai korban yang harus direhabilitasi. Umumnya yang terjadi selama ini, sanksi rehabilitasi medis dan sosial akan digunakan oleh penyidik ataupun pengadilan, jika terdakwa bagian orang-orang yang mempunyai kuasa, uang dan ketenaran.

Sehingga ada “guyonan” dikalangan pecandu, jika pecandu yang miskin dan tidak punya relasi orang “kuat” maka siap-siap mendekam di penjara dan menjadi “bulan-bulanan” dari mulai penyidikan sampai tahanan. Sehingga sudah menjadi rahasia umum praktek suap terjadi pada kasus narkoba jika ingin putusan pengadilan rehabilitasi medis ataupun sosial.

Sebenarnya apa yang terjadi oleh Afriani menggunakan narkoba dan mabuk juga dialami oleh pecandu lainnya, walau konteks situasi berbeda-beda. Misalnya seorang pecandu dapat melakukan pencurian, penipuan sampai pembunuhan. Dari mulai mencuri harta orang tua sampai harta orang lain. Tentu tidakan “kriminal” itu dilakukan oleh pecandu dalam kondisi “tidak sadar/tidak sehat secara mental”. Sehingga kondisi inilah yang menjadi dasar di UU Narkotika mengapa seorang pecandu dimasukan sebagai pasien yang harus disembuhkan dari ketergantungan Narkoba tersebut. Simplenya, jika pecandu sedang “fly” maka tingkat kesadaran menurun bahkan pada titik ekstris “ketidaknormalan” yang sangat tinggi. Kemungkinan ini terjadi pada kondisi Afriani Susanti saat mengendarai mobil Xenia di hari Minggu tersebut.

Saya pikir sangat sulit diterima logika, seandainya Afriani dalam kondisi sadar (tidak terkena pengaruh minuman keras dan narkoba) sanggup melakukan pembunuhan terhadap 9 orang dan melukai 3 orang lainnya.Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan para koruptor di Indonesia, tanpa kondisi “fly” dan dalam kondisi kenormalan mental, tetapi masih sanggup membunuh rakyatnya sendiri secara sistematis.

Padahal kalau ditelusuri lebih jauh, titik persoalan utama ada pada ketidaktegasan dan ketidakseriusan pemerintah melaksanakan UU Narkotika, tidak jujur menentukan mana yang korban dan mana yang pelaku. Dari mulai penangkapan, penyidikan, pengadilan sampai tahanan tidak serius menghentikan segala bentuk pengedaran Narkoba. Justru para korban Narkotika ibarat “ladang” baru untuk “mendulang emas” dari praktek-praktek suap dan pemerasan. Itulah yang terjadi selama ini. Yang menjadi sasaran hanya para korban (pecandu Narkoba) bukan bandar-bandar “bos” Narkoba. Katanya Indonesia sangat keras melarang peredaran minuman keras dan Narkoba, tetapi mengapa barang-barang masih terus beredar sampai detik ini? Bahkan terlalu muda mendapatkan barang tersebut hanya dengan bermodal Rp.10.000,-

Tulisan ini tentu bukan sedang “membela” apalagi membenarkan tindakan Afriani Susanti. Tulisan ini sebagai bentuk duka mendalam terhadap para korban dan keluarga korban yang ditinggalkan. Karena ketidakseriusan pemerintah memberantas narkoba dan minuman keras mengakibatkan terbunuhnya orang-orang yang tidak berdosa. Termasuk keluarga Afriani, yang harus menanggung beban dan malu atas kejadian ini. Semoga kejadian ini menjadi pembelajaran bagi kita semua untuk terus menuntut pemerintah bekerja lebih baik dalam “pemberantasan” narkoba.

Jakarta, 27 Januari 2012
* Staff Advokasi Indonesia AIDS Coalition

Artikel terkait  Pemerintah Diskriminasi Penyakit Tidak Menular dalam RUU Paten!

Share this post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

On Key

Related Posts

Publikasi

Laporan Audit Keuangan IAC Periode 2019

Sebagai sebuah lembaga yang bekerja mempromosikan transparansi dan akuntabilitas didalam program penanggulangan AIDS, Lembaga Indonesia AIDS Coalition (IAC) menyadari sekali pentingnya arti transparansi dan akuntabilitas

Read More »

want more details?

Fill in your details and we'll be in touch