Ruang Aman Bagi Adhiv

Masyarakat yang seringkali berpandangan stigmatis pada ODHIV menciptakan lingkungan yang tidak ramah bagi mereka, termasuk juga bagi anak-anak dengan HIV atau ADHIV. Melalui stigma yang beredar di lingkungan masyarakat, hal ini mendorong perilaku diskriminatif yang merugikan baik ODHIV maupun ADHIV.

Bagi ADHIV, stigma dan diskriminasi merupakan tantangan yang seringkali dihadapi dalam keseharian mereka. Tak hanya bagi anak dengan HIV, namun dampaknya juga dapat diterima oleh caregiver seperti orang tua, wali, ataupun pengasuh. Hal ini dapat terjadi karena edukasi terkait HIV dan AIDS pada masyarakat yang belum dilakukan secara optimal. Padahal, prinsip hak anak termasuk non-diskriminasi; kepentingan yang terbaik bagi anak; hak hidup, kelangsungan, dan perkembangan; serta penghargaan terhadap pendapat anak perlu ditekankan bagi kelangsungan dan kelayakan hidup anak, tak terkecuali bagi ADHIV atau anak-anak dengan HIV.

Stigma mengenai anak/orang dengan HIV yang beredar di masyarakat dapat berkembang menjadi diskriminasi yang membuat mereka kian tertutup dan menyembunyikan diri mereka—semata-mata karena dianggap sebagai aib. Hal ini memicu rasa takut akan intimidasi dan pengasingan, yang juga menjadi tekanan psikologis bagi mereka. Dari sini, kita tahu bahwa dampak yang ditimbulkan akibat diskriminasi bagi ADHIV tak hanya memberatkan dari situasi dan lingkup sosial, namun juga berpotensi menggoyahkan kondisi mental mereka.

Sebagaimana seorang anak pada umumnya, ADHIV juga masih bergantung pada orang dewasa. Jika caregiver atau orang dewasa yang mengasuh ADHIV juga merupakan orang berstatus positif HIV, dengan adanya stigma mengenai HIV dan AIDS, bisa dibayangkan betapa rentannya mereka terhadap diskriminasi yang dapat terjadi.

Isu stigma dan diskriminasi yang terus menjadi kendala bagi komunitas ODHIV dan ADHIV seharusnya cukup untuk menjadi teguran bagi kita semua. Tak bisa dipungkiri bahwa sebagai masyarakat, kita juga turut andil dalam berkembangnya stigma dan diskriminasi yang kerap kali menyudutkan mereka. Pun sebagaimana peranan kita dalam bermasyarakat, menciptakan lingkungan yang aman bagi mereka juga merupakan tanggung jawab kita semua.

Lingkungan yang suportif dapat terbentuk atas usaha kolektif dari berbagai lapisan masyarakat. Bagi komunitas ADHIV, hal ini tak serta-merta berarti pelukan hangat dan seruan motivasi yang dinyatakan pada mereka untuk sekadar menyampaikan dukungan. Lingkungan suportif bagi ADHIV berarti ruang aman untuk mereka; ruang aman untuk tumbuh dan berkembang, untuk belajar dan berproses, dan tentu saja untuk tetap membiarkan mereka menjadi ‘anak’—terlepas dari status mereka yang positif HIV, dan predikat ADHIV yang melekat pada diri mereka—tanpa stigma dan pandangan negatif yang membingkai identitas mereka.

Dengan usia ADHIV yang masih berada di kisaran 0 – 14 tahun, tentu saja kondisi fisik, emosi, serta kognitif mereka masih berada dalam tahap perkembangan. Mempertimbangkan hal tersebut, bukannya tak mungkin jika stigma dan diskriminasi yang seakan ‘membelenggu’ itu menjadi hal yang dianggap besar bagi mereka.

Dengan adanya kontribusi dan kerja sama masyarakat untuk membentuk ruang aman bagi ADHIV, berbagai cerita mengenai diskriminasi seperti penolakan bagi mereka untuk bersekolah serta beragam isu mengenai kepercayaan dan penerimaan diri diharapkan tak akan terulang kembali. Hal ini juga kemudian dapat menyelesaikan beragam permasalahan lain yang seringkali terjadi pada ADHIV—yang juga kerapkali beriringan dengan isu stigma dan diskriminasi; seperti pengaruh akan penanganan dan pengobatan mereka, perasaan takut dan tidak adanya penerimaan diri, minimnya pemahaman mengenai HIV dan manfaat dari konsumsi ARV, dan tingkat kepercayaan diri yang rendah.

Inilah mengapa penting bagi kita untuk bisa saling memberikan pemahaman kepada orang-orang di sekitar kita, sebagai upaya untuk meminimalisir terjadinya kekerasan, perundungan, stigma, serta diskriminasi terhadap anak dengan HIV. Dalam program CHILD-LIFE, Indonesia AIDS Coalition (IAC) berupaya untuk mendukung hak-hak anak dengan HIV—salah satunya dengan mengupayakan pengadaan ruang aman bagi mereka. Dengan adanya lingkungan yang suportif bagi komunitas ADHIV, secara tidak langsung kita juga akan memberikan dukungan psikososial bagi mereka—karena stigma dan diskriminasi yang telah tereliminasi dari lingkungan masyarakat pada akhirnya tak akan lagi memberatkan mereka. 

 

Share this post

On Key

Related Posts

Publikasi

Sosialisasi Rencana Pelaksanaan Program GF

Indonesia AIDS Coalition mendapatkan kesempatan untuk menjadi Penerima Hibah dari The Global Fund Periode 2022-2023. Dalam melaksanakan tugasnya selama periode tersebut, IAC akan bermitra dengan

Read More »
Publikasi

Laporan Audit Keuangan IAC Periode 2018

Sebagai sebuah lembaga yang bekerja mempromosikan transparansi dan akuntabilitas didalam program penanggulangan AIDS, Lembaga Indonesia AIDS Coalition (IAC) menyadari sekali pentingnya arti transparansi dan akuntabilitas

Read More »

Ruang Aman Bagi Adhiv

Masyarakat yang seringkali berpandangan stigmatis pada ODHIV menciptakan lingkungan yang tidak ramah bagi mereka, termasuk juga bagi anak-anak dengan HIV atau ADHIV. Melalui stigma yang beredar di lingkungan masyarakat, hal ini mendorong perilaku diskriminatif yang merugikan baik ODHIV maupun ADHIV. Bagi ADHIV, stigma dan diskriminasi merupakan tantangan yang seringkali dihadapi dalam keseharian mereka. Tak hanya […]

want more details?

Fill in your details and we'll be in touch