Diskusi Seksualitas

Analisis Gender dalam Refleksi Cerita dan Diri

Pelatihan dibuka pada jam 13.20 WIB, Kamis, 26/4/2012 oleh Putri (fasilitator) melalui review apa saja yang telah dilakukan di Minggu sebelumnya. Setiap peserta diminta menulis pendapatnya, memaparkannya, lalu menjemurnya di “jemuran celana dalam“. Umumnya peserta menyatakan ketertarikannya atas pendapat Prof.Siti Musdah Mulia tentang: isu perkawinan sejenis, hukum perkawinan dalam Islam sebagai hal yang mubah, mitra sejajar antara laki-laki dan perempuan dan tentang hak waris yang flexible antara laki-laki dan perempuan.

Diskusi Seksualitas
Diskusi Seksualitas

Kemudian peserta dibagi menjadi 3 kelompok oleh fasilitator untuk berdiskusi mengenai sebuah cerita yang telah dibagikan. Cerpen pertama berjudul “Nyai Sobir”, bercerita tentang kesedihan seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya. Banyak orang yang datang melayat ke rumahnya, namun tak satupun dari mereka yang memanusiakan Nyai Sobir. Kesedihan Nyai Sobir-pun memuncak saat dia sebagai seorang janda kehilangan kuasa atas tubuh dan hidupnya sendiri.

Cerita kedua dan ketiga merupakan cuplikan dari surat-surat RA Kartini untuk Nyonya RM. Abendanon dan Nyoya N. Van Koel. Kedua surat itu bercerita tentang nasib sebagai seorang perempuan Islam Jawa dimana pada masa itu semua perempuan di usia 12 tahun harus dipingit sampai mereka dilamar. Surat itu mencerminkan kesedihannya melihat bagaimana perempuan-perempuan itu dibuat bercita-cita menjadi milik laki-laki, kesenjangan yang besar antara laki-laki dan perempuan, hingga pandangannya mengenai perempuan yang dipoligami. Kritikan-kritikan cerdas RA Kartini tertuang dalam kedua surat itu, termasuk keinginan besarnya untuk memberikan pendidikan tinggi kepada para perempuan di masanya.

Setelah selesai berdiskusi, masing-masing kelompok mengirimkan perwakilannya untuk mempresentasikan hasil diskusi. Kelompok pertama menyampaikan hasil diskusi mengenai “Nyai Sobir”. Kelompok kedua mempresentasikan hasil diskusi mengenai surat RA Kartini untuk Nyonya RM. Abendanon. Terakhir, kelompok ketiga mempresentasikan hasil diskusi surat RA Kartini untuk Nyoya N. Van Koel.

Selesai presentasi kelompok, peserta berdiskusi dan berdebat mengenai isu-isu yang ada dalam cerpen itu, kemudian bersama-sama mencari solusi untuk memecahkan masalah yang timbul. Isu yang muncul saat berdiskusi diantaranya ialah pandangan akan sebuah budaya yang hal tersebut mengandung unsur baik dan buruk, pencitraan terhadap seorang perempuan, serta perbandingan nasib perempuan di masa dulu dan kini. Akhirnya, ada beberapa hal yang telah disepakati dalam diskusi, yaitu: menghormati perbedaan yang ada tetapi tetap menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, siapapun berhak mendapatkan kesempatan yang sama, dan perlunya pendidikan gender sejak dini untuk anak, baik laki-laki maupun perempuan. Diskusi itu menutup materi tentang gender.

Artikel terkait  Gender Equality Strategy, Gender Assessment Tools, dan Global Fund New Funding Model
Presentasi Kelompok
Presentasi Kelompok

Seksualitas adalah materi baru, untuk memulainya fasilitator mengajak peserta mengenal tubuh mereka sendiri lewat meditasi, peserta diminta untuk berdiskusi dengan tubuhnya. Apa yang disukai, apa yang dibenci, apakah mereka hanya dijadikan alat saja atau memang merupakan bagian dari tubuh sendiri, dan pertanyaan-pertanyaan kritis lainnya. Seusai bermeditasi, fasilitator mengajak peserta berdiskusi 3 hal (apa yang diingat sejak kecil, pada saat remaja, dan hari ini yang dibicaraan dengan tubuh mengenai tubuh, orientasi, perbedaan). Hasil pemikiran akan dituangkan ke dalam “sungai kehidupan” dimana peserta bebas menggambarnya dengan berbagai warna dan simbol. Peserta terlihat mengambil bagian-bagian dari majalah, menggambar dengan kreativitas mereka, dan menempelkannya di kertas plano.

Sungai Kehidupan
Sungai Kehidupan

Peserta mempresentasikan “sungai kehidupannya” kepada peserta lainnya, gambar tersebut sangat berwarna-warni dan bervariasi. Secara umum, sungai kehidupan mereka bercerita tentang bagaimana pola pandang mereka saat kecil dimana nilai dan norma dari orang tua disosialisasikan kepada mereka. Beberapa mulai merasa ada yang berbeda, namun kebanyakan tidak bermasalah dengan nilai dan norma tersebut. Masalah mulai timbul pada masa remaja dimana mereka mulai mencari identitas dirinya. Kurangnya informasi yang komprehensif (menyeluruh) membuat beberapa dari mereka mengalami kekerasan seksual, terjerumus memakai narkoba, hingga perasaan membenci diri sendiri karena berbeda dengan teman lainnya.

Saya (laki-laki) dibesarkan di keluarga yang Islami, sejak taman kanak-kanak sudah mulai menyukai teman kakaknya yang laki-laki. Sewaktu kelas 3 sekolah dasar mulai diberi julukan “bencong“, ia merasa tidak nyaman. Pem”bully” (orang yang mengejek) tidak pernah berhenti menghinanya, hal itu membuat dia mengisolasi dirinya sendiri. Masuk masa remaja, ia mengalami mimpi basah dengan laki-laki. Saat kuliah, ia mulai menanyakan hakikat dirinya, ia juga bertemu dengan teman-temannya yang menghargai dirinya sebagai manusia. Identitas dirinya didapatkan saat kuliah, termasuk pacaran dengan laki-laki dan melakukan aktivitas seksual.

Sebut saja Intan, sejak kecil disekolahkan di pendidikan Islam yang membuatnya memakai jilbab. Jilbab bukan atas keinginan dirinya sendiri. Dari kecil, ia tidak pernah sekalipun mendapatkan pendidikan seks baik dari keluarga maupun sekolah, sampai akhirnya ia bertemu dengan pacar laki-lakinya. Di usia 16 tahun, Intan pertama berhubungan seks dengan laki-laki (pacar) sampai akhirnya ia tahu bahwa dirinya HIV positif. Saat perasaan tidak nyaman berkumpul dengan orang lain karena status HIV dan ketidaknyamanannya memakai kerudung, saat itu ia bertemu dengan teman-teman komunitas HIV. Akhinya ia memutuskan untuk melepas kerudungnya. Alasannya, saya menginginkan hak atas tubuh, ungkap Intan. Menurut Intan hal ini dilaluinya dengan cara yang tidak mudah. Tapi, sekarang ia merasa bebas, nyaman, dan dapat bekerja menolong lebih banyak orang lagi. Khususnya teman-teman perempuan yang positif HIV.

Itulah dua cerita peserta dari pelatihan. Memasuki masa awal kuliah, mereka mulai belajar beradaptasi dengan lingkungan, menentukan nila-nilai diri, dan belajar menerima keadaan dirinya. Fasilitator membahas konsep-konsep yang keluar dari presentasi peserta pelatihan.

Artikel terkait  Training Penyusunan Proposal Anggaran Program HIV-AIDS dan Teknik Public Speaking di Kota Bandung

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul adalah “berharga atau tidak?”, “tubuh? satu atau terpisah?”, “orientasi”, “aktivitas seksual”, “stereotype (label)”, “impian/realitas”, “image”, dan “kepedulian kepada lingkungan”.

Semua pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul karena adanya norma-norma masyarakat, dimana ada yang dipandang positif dan negatif.

Diskusi ditutup pukul 17:51 WIB.

Share this post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

On Key

Related Posts

want more details?

Fill in your details and we'll be in touch