Memahami Hak Sipol pada Aksi Kamisan
Setelah minggu sebelumnya membahas Hak Sipil-Politik (Sipol), kali ini Pendidikan Kritis yang diselenggarakan IAC membahas Hak Ekonomi, Sosial, Budaya (Ekosob). Hartoyo membuka kelas dengan dengan mengajak peserta mereview pembahasan minggu lalu.
Yang unik dari materi Hak Sipol, peserta terlibat dalam Aksi Kamisan. Aksi Kamisan adalah aksi diam yang dilakukan para korban pelanggaran HAM di sebrang jalan Istana Negara, Jakarta. Aksi dilakukan setiap sore di hari Kamis, dengan cara mengenakan baju hitam dan berdiam diri sambil membawa payung hitam yang bertuliskan berbagai pelanggaran HAM yang pelakunya belum diadili: Peristiwa 65, Penembakan Mahasiswa Semanggi, Peristiwa 98, Pembunuhan Munir, dll. Pelibatan peserta pada aksi ini sebagai pendalaman materi Hak Sipol yang sebelumnya Papang sampaikan di ruang galery Kontras.
Setiap peserta menyampaikan kesan yang hampir sama terkait kekaguman pada korban dan keluarga korban pelanggaran HAM yang terus menerus melakukan aksi diam. Aksi Kamisan yang diikuti peserta, terdiri dari LGBT dan ODHA itu, didokumentasi oleh OurVoice melalui video reportase. Kehadiran peserta pada aksi tersebut juga mengundang perhatian beberapa jurnalis. Berita foto di beberapa surat kabar menampilkan mereka, antara lain di Media Indonesia.
Dari tayangan video dan pemberitaan media tersebut, berikut refleksi peserta: Menurut Jen, waria yang yang mengenakan jilbab, Aksi Kamisan membuatnya mengerti dan berempati terhadap korban pelanggaran HAM. Ia juga senang karena diterima aksi bersama oleh mereka yang selama ini sudah yang ke-260 kali berdiri di depan Istana Negara.
Ayu, pegiat hak ODHA, menambahkan, Aksi Kamisan memberinya percikan semangat, terutama dari orang-orang tua yang terlibat. “Ada Ibu Sumiarsih, bundanya Wawan, mahasiswa Atma Jaya yang ditembak saat berdemo pada 1998. Juga Pak Bedjo Untung, korban 65, yang dipenjara 9 tahun sejak ia remaja. Mereka terus berdiri di depan Istana Negara, menuntut keadilan meski usia tak lagi muda,” tuturnya. Ayu juga medapatkan pemahaman prinsip perjuangan: “Jika ingin meraih sesuatu harus melalui perjuangan yang konsisten. Tanpa itu, tuntutan kita menguap begitu saja.” Karena itu menurutnya, sebagai bagian dari kelompok marjinal, perjuangan yang tidak mengenal lelah perlu terus dilakukan peserta.
Teguh menangkap pesan dari penyintas 65 bahwa tragedi tersebut sudah mendapat perhatian dari pada masa pemerintahan Gus Dur. Sedangkan pemerintah SBY masih mengabaikannya. Para penyintas 65 masih terus menuntut permintaan maaf dan rehabilitasi dari negara, juga keadilan yang mengedepankan kepastian hukum. Rekaman Aksi Kamisan peserta melalui tampilan video dan pemberitaan media tersebut, mempermudah peserta untuk mereview materi Hak Sipol. Terutama pertemuan mereka dengan para penyintas yang memberikan gambaran nyata pelanggaran HAM pada aspek Sipol.
Hak Ekosob: Dari Layanan Kesehatan hingga Budaya
Fasilitator Dewi Nova mengajak peserta melangkah ke sesi Hak Ekosob. Pintu masuk untuk memahami Hak Ekosob dilakukan melalui nonton film dokumenter “Pertaruhan” pada segmen Nona Nyonya.
Nona Nyonya menceritakan dilema tubuh perempuan di hadapan masyarakat partiarkhi. Soal susahnya perempuan tidak menikah mendapatkan layanan kesehatan reproduksi. Mereka dihambat oleh persepsi moral pihak obstetri dan ginekolog beserta petugas kesehatan lainnya. Mereka masih beranggapan, perempuan yang berhak melakukan papsmear (pengambilan cairan dari dinding uterus) adalah perempuan yang sudah bersetubuh dalam pernikahan. Jika, ada permintaan papsmear dari perempuan yang belum menikah, petugas turut memeriksa moral pasiennya.
Film itu juga menunjukkan bagaimana perempuan yang melakukan intercouse di luar nikah atau terkena penyakit keputihan, dianggap aib, berdosa dan aneh jika meminta pelayanan papsmear. Hal itu merebut hak perempuan untuk memeriksakan kesehatan rahimnya. Kesulitan yang sama juga dihadapi oleh pasangan lesbian yang dalam ekpresi kasih sayangnya tidak melakukan penetrasi apapun pada vagina mereka. Walaupun pada episod ini, mereka bertemu petugas yang bersedia melakukan pemeriksan papsmear.
Gambaran itu memperlihatkan akses pelayanan kesehatan yang tidak dapat dinikmati semua orang, akibat persepsi nilai-nilai budaya dan agama para petugas kesehatan. Sekalipun pasien memiliki uang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, dalam kasus-kasus tertentu seperti papsmear, pasien terhadang oleh identitas pernikahan atau keperawanan. “Sikap dan persepsi petugas medis terkait nilai-nilai agama turut berkontribusi pada derajat kesehatan kita,” tutur Dewi Nova. “Padahal kewajiban negara memastikan segala pelayanan kesehatan di rumah sakit mana pun tanpa diskriminasi. Jika negara sudah melakukan diskriminasi, negara akan mengabaikan pelayanan kesehatan kita,” lanjutnya.
Selanjutnya Dewi Nova mengajak peserta untuk melihat pada pengalaman mereka mengenai akses layanan kesehatan terkait identitas gender dan kondisi lainnya. Berdasarkan pengalaman peserta, tindakan diskriminatif di pelayanan kesehatan juga dialami peserta yang berorientasi seksual LGBT. Antara lain pelayanan anuscopy (pemeriksaan kesehatan liang anus) kurang dipromosikan pemerintah dibandingkan papsmear. Padahal pemeriksaan kesehatan itu penting, terutama bagi warga yang melakukan aktivitas seks melalui anus. Peserta juga menuturkan kondisi di lapangan yang banyak menghadapi sikap dan tindakan diskriminatif juga stigma dari petugas layanan kesehatan.
Di dunia medis, perspektif negara tentang kesehatan reproduksi pertama kali diarahkan pada heteroseksual dan memandang kesehatan reproduksi hanya urusan perempuan. Segala macam beban reproduksi diarahkan kepada perempuan. Dalam hal ini perempuan hetero, semestinya pemerintah menyediakan layanan kesehatan reproduksi juga untuk lesbian dengan akses yang mudah.
Agar jaminan kesehatan setiap warga negara terpenuhi, Deklarasi Hak Asasi Manusia menghasilkan Konvenan Hak Ekosob yang turunannya memuat:
1. Kesehatan
Tertuang di Konvenan Hak Ekosob Pasal 12:
(1) Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar
tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental.
(2) Langkah-langkah yang akan diambil oleh Negara Pihak pada Kovenan ini guna mencapai
perwujudan hak ini sepenuhnya, harus meliputi hal-hal yang diperlukan untuk
mengupayakan:
a) Ketentuan-ketentuan untuk pengurangan tingkat kelahiran-mati dan kematian anak serta
perkembangan anak yang sehat;
b) Perbaikan semua aspek kesehatan lingkungan dan industri;
c) Pencegahan, pengobatan dan pengendalian segala penyakit menular, endemik, penyakit
lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan;
d) Penciptaan kondisi-kondisi yang akan menjamin semua pelayanan dan perhatian medis
dalam hal sakitnya seseorang.
Menurut Dewi Nova hak warga atas kesehatan tidak hanya meliputi fisik, tapi juga mental. Negara harus memberikan layanan kesehatan secara menyeluruh dan menghormati identitas gender dan kondisi lainnya. Kewajiban negara untuk memastikan tidak terjadi “pertobatan” oleh petugas kesehatan di ruang periksa, seperti di dalam film Nona Nyonya dan pengalaman teman-teman ODHA dan LGBT saat melakukan pemeriksaan kesehatan. Pertobatan yang dimaksud tindakan petugas kesehatan yang tidak respek pada identitas gender, ODHA dan pekerja seks. Juga tindakan mereka yang memberikan ceramah atas nama moral dan agama pada proses pemeriksaan.
Lalu muncul pertanyaan dari Teguh, “bagaimana dengan kasus aborsi?”
Tema aborsi masih menjadi pro dan kontra. Perempuan tidak mudah memutuskan untuk melakukan aborsi, sekalipun perempuan korban pemerkosaan. Selain ia akan berhadapan dengan stigma sosial, juga persoalan kesehatan. Praktek aborsi yang tidak sesuai prosedur dapat mengancam kesehatan reproduksi perempuan. Di Indonesia, praktik aborsi dianggap tindakan ilegal. Namun demikian, pemidanaan praktik aborsi justru mengakibatkan banyak perempuan yang memilih melakukan aborsi diam-diam oleh petugas yang tidak kompeten yang memperburuk derajat kesehatan ibu hingga mengakibatkan kematian.
Di dunia HIV, menurut Ayu, keputusan melakukan aborsi dilakukan secara sadar dengan mempertimbangkan kemungkinan kondisi anak yang akan lahir. Banyak perempuan melakukan itu. Sebab, anak dengan HIV-AIDS belum bisa menerima pelayanan kesehatan yang memadai di Indonesia.
Menurut Dewi Nova yang perlu dihormati adalah otoritas tubuh perempuan yang dapat mengacu pada prinsip HAM terkait penghormatan pada integritas manusia. Pemilik otoritas tubuh perempuan adalah perempuan itu sendiri, bukan negara apalagi kaum ulama. Negara cukup respek pada otoritas perempuan terhadap tubuhnya dan menyediakan layanan kesehatan memadai untuk apapun keputusan perempuan. Juga negara berkewajiban menghilangkan stigma dan beban sosial-budaya yang selama ini mengganggu integritas perempuan. “Derajat kesehatan kita tidak bisa dan tidak boleh dikontrol oleh negara, persepsi agama yang tidak respek concern perempuan, apalagi warga negara lainnya.” Tutur Dewi.
2. Pekerjaan
Hak atas pekerjaan diatur dalam Konvenan Hak Ekosob Pasal 6 – 8. Negara wajib menyediakan pekerjaan yang layak dan adil. Bukan hanya upah layak, lebih dari itu hak untuk bernegosiasi, mendirikan serikat buruh, dan menyatakan aspirasinya.
Banyak regulasi negara yang dipengaruhi oleh korporasi besar atau organisasi besar, seperti Vatikan merugikan kaum buruh. Mereka masuk dalam subjek hukum pelanggaran HAM.
3. Pendidikan
Hak atas pendidikan diatur dalam Pasal 13 – 14 Konvenan HAK Ekosob. Program pendidikan gratis itu kewajiban, bukan subsidi. Seolah bentuk belas kasih negara. Pendidikan gratis untuk semua merupakan amanat UUD dan Konvenan Hak Ekosob.
Menurut Dewi Nova, pendidikan yang dimaksud berkaitan dengan harga diri. Pendidikan mengharuskan manusia berkembang secara optimal, seperti pikirannya. Ketika Kapitalisme menguat, kecenderungan pendidikan kita menghasilkan buruh-buruh, bukan pemikir. Di sekolah atau perguruan tinggi dipersiapkan menjadi buruh.
Teguh sebagai mahasiswa UNJ menurutkan pengalamannya terkait metoda pendidikan. Dosen pendidikannya mengatakan, metode ceramah sebagai metode pendidikan paling baik. Mahasiswa seperti itu hanya menjadi robot. Perihal LGBT selalu didengungkan haram di ruang kelas, tanpa diajak berbeda pendapat.
Pada konteks ODHA, sulitnya akses pendidikan juga dialami mereka. Anak dengan ayah ODHA tidak diterima masuk sekolah. Begitupun jika ada anak yang terkena HIV-AIDS. Belum ada peraturan khusus yang menjamin anak ODHA mendapatkan pendidikan yang layak, tutur Ayu.
Menurut Dewi Nova, pelanggaran hak mendapat pendidikan juga dialami anak-anak Ahmadiyah. Mereka secara langsung diintimidasi atas dasar keyakinan agamanya. Rapor mereka ditandai khusus. Nilai ujian mata pelajaran agama direndahkan. Meski sebenarnya mereka mampu menjawab soal-soal dengan benar. Bahkan, mereka diminta untuk “menobatkan” orang tuanya. Guru-guru di Cisalada, Bogor, dibebastugaskan secara paksa karena keyakinan beragama mereka.
Beberapa kasus tidak mendapatkan akses pendidikan dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya dan agama tertentu. Dalam konteks HAM, beragama, berkeyakinan, atau ateisme merupakan hak yang tidak bisa direduksi. Negara harus menghormatinya. Jika ada perbedaan pendapat soal agama, negara tidak boleh memihak. Kewenangan negara mengatur dua kelompok tidak saling serang.
4. Jaminan Sosial
Warga negara berhak mendapatkan jaminan sosial dari negara, tertuang dalam Konvenan Hak Ekosob Pasal 9 – 11.
Menurut Ayu, jaminan sosial bagi penderita HIV-AIDS masih jauh dari harapan. Banyak pasien yang ditolak meski sudah mengantongi SKTM, Jamkesmas, Jamkesda, dsb.
Di Nusa Tenggara Barat, jaminan sosial berupa layanan kesehatan gratis bagi ibu hamil terpenuhi. Kecuali bagi warga Ahmadiyah yang tidak diberikan hak mendapatkan KTP. Karena untuk mengakses layanan gratis tersebut warga harus menunjukan KTP.
5. Budaya
Yang terakhir, soal budaya tertuang di Konvenan Hak Ekosob Pasal 15. Berikut isinya,
1. Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang:
a) Untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya;
b) Untuk menikmati manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan penerapannya;
c) Untuk memperoleh manfaat dari perlindungan atas kepentingan moral dan material yang
timbul dari karya ilmiah, sastra atau seni yang telah diciptakannya.
2. Langkah-langkah yang harus diambil oleh Negara Pihak pada Kovenan ini untuk
mencapai perwujudan sepenuhnya dari hak ini, harus meliputi pula langkah-langkah yang
diperlukan guna melestarikan, mengembangkan dan menyebarkan ilmu pengetahuan dan
kebudayaan.
3. Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan yang mutlak
diperlukan untuk penelitian ilmiah dan kegiatan yang kreatif.
4. Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui manfaat yang akan diperoleh dari pemajuan dan
pengembangan hubungan dan kerjasama internasional di bidang ilmu pengetahuan dan
kebudayaan
Di lingkungan LGBT, mereka berhak membuat budaya sendiri dengan cara pakaiannya yang khas untuk membedakan dengan kelompok heteroseksual. Masalahnya, penampilan yang khas itu terbentur dengan pandangan masyarakat yang homopobik. Dan negara membiarkan sikap masyarakat yang demikian terus berlangsung.
Rasa hormat atas keberagaman budaya di Indonesia juga mulai tidak dihormati. Bhineka Tunggal Ika yang dulu kita dengungkan hilang. Yang terjadi pola-pola dominasi kelompok tertentu terhadap budaya lain. Oleh karena itu, sama seperti Deklarasi Hak Asasi Manusia yang perlu terus diperbaiki sampai munculnya hah generasi Ketiga (hak perempuan dan LGBTI). Bhineka Tunggal Ika juga perlu diperbaharui dalam konteks kekinian. Termasuk menghormati perbedaan budaya berdasarkan orientasi seksual dan jender.
“Demikian lima turunan Hak Ekosob, yakni kesehatan, pekerjaan, pendidikan, jaminan sosial, dan budaya. Kita harus mengerti, negara sudah meratifikasi konvenan Hak Sipol dan Hak Ekosob. Sebagai warga negara, kita bisa menuntut ke pemerintah agar terselenggaranya dengan baik konvenan-konvenan itu,” demikian Dewi menutup pertemuan.