Pada hari Jumat, 5 Mei 2023, Indonesia AIDS Coalition (IAC) bekerjasama dengan Indonesia for Global Justice (IGJ) melakukan kegiatan Capacity Building “Mengenal Bahaya TRIPS dan FTA: Dampaknya pada Sektor Kesehatan” bersama mitra kelompok masyarakat sipil. Tujuan dari kegiatan ini adalah membahas mengenai World Trade Organization (WTO), perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement/FTA), dan Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) dan dampak dari hal tersebut pada sektor kesehatan.
WTO berdiri sebagai hasil dari perundingan Uruguay. Tujuan dari WTO adalah melakukan liberalisasi perdagangan dunia dengan berlandaskan pada 3 pilar, yaitu perdagangan barang, perdagangan jasa, dan TRIPS. Indonesia sendiri telah menjadi anggota WTO sejak tahun 1995.
WTO memiliki ketentuan, yang harus diimplementasikan oleh negara-negara anggota dalam bentuk peraturan hukum. Termasuk dengan TRIPS. Beberapa hal yang diatur oleh TRIPS adalah hak cipta, merk dagang, indikasi geografis, desain industri, paten, desain tata letak sirkuit, dan rahasia dagang. Untuk itu, Indonesia menciptakan beberapa undang-undang seperti UU perlindungan paten dan perlindungan hak cipta.
Secara sederhana, aturan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) memberikan hak monopoli kepada pemegang paten, sehingga pemilik paten tersebut dapat mengatur produksi, distribusi, hingga harga dari produk yang mereka ciptakan. Obat dan alat kesehatan adalah termasuk produk yang diatur oleh paten. Karena adanya monopoli oleh pemegang paten, maka sedikit atau tidak ada kompetisi. Hal tersebut yang membuat harga obat menjadi tinggi.
Pengetatan dari ketentuan TRIPS yang merupakan standar minimal oleh negara maju berakibat pada semakin ketatnya perlindungan paten, yang berimplikasi pada minimnya kompetisi dan harga obat yang tinggi. Padahal, produksi dari obat generik murah (low-cost generic medicine) dapat memicu kompetisi dan menurunkan harga obat. Studi menemukan bahwa harga obat akan turun apabila terdapat lebih dari 5 produsen. Karenanya, kompetisi harus didorong.
Sejatinya, TRIPS tidak boleh menjadi penghalang bagi upaya negara untuk menjaga kesehatan publik. Karenanya, demi mengatasi kendala tersebut, maka terdapat beberapa langkah yang dapat ditempuh, yakni dengan melakukan lisensi wajib (compulsory licensing), impor paralel, dan oposisi paten.
Indonesia saat ini terlibat dalam beberapa perjanjian dagang yang mengandung unsur-unsur TRIPS yang ketat, atau TRIPS Plus, yakni Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-EU CEPA dan Indonesia-Canada CEPA. Beberapa ketentuan yang menjadi perhatian adalah terkait perpanjangan masa berlaku paten, ekslusivitas data & pasar, pembatasan impor paralel, patent linkage, dan penegakan paten di perbatasan. Studi menemukan bahwa perpanjangan masa paten akan meningkatkan pengeluaran pemerintah untuk jaminan kesehatan nasional dan pengeluaran masyarakat untuk kesehatan. Oleh karena itu, kelompok masyarakat sipil dan masyarakat harus berhati-hati. Sebab yang menjadi pertaruhan adalah akses ke obat-obatan terjangkau, atau secara lebih luas, hak warga negara atas kesehatan.
Kegiatan ini mengundang perwakilan dari beberapa kelompok masyarakat sipil yang bergerak di bidang kesehatan, antara lain Perhimpunan Organisasi Pasien Tuberkulosis (POP TB) Indonesia, Peduli Hati Bangsa, Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI), Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) Indonesia, Jaringan Indonesia Positif (JIP), AIDS Healthcare Foundation, Lapor COVID-19, PR Komunitas Konsorsium Penabulu-STPI, STOP TB Partnership, Yayasan Angsa Merah, Yayasan Kemitraan Indonesia Sehat, Yayasan KNVC Indonesia, dan Yayasan Penabulu (TB Accelerate).
Kegiatan capacity building berjalan lancar dan para peserta berpartisipasi secara aktif. Selain itu, juga terdapat rencana tindak lanjut dari hasil kegiatan, yang rencananya akan dilaksanakan pada paruh awal 2023.