Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengakhiri HIV-AIDS pada tahun 2030 demi memenuhi target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah, dan Target 95-95-95. Target 95-95-95 yang ditetapkan secara global ini menyasar pada setidaknya 95% Orang dengan HIV (ODHIV) mengetahui status, 95% mengakses pengobatan, dan 95% ODHIV yang menjalani pengobatan virusnya tersupresi. Menanggapi permasalahan tersebut, beberapa strategi baru diusulkan. Misalnya penerapan skrining mandiri HIV, mobilisasi pendamping sebaya, notifikasi pasangan, penguatan konseling kepatuhan konsumsi ARV, dsb. Namun untuk mendapatkan hasil yang optimal, strategi-strategi di atas perlu didukung dengan keterlibatan aktif dari masyarakat untuk memberikan feedback selaku pihak yang merasakan langsung agar setiap upaya baru maupun upaya perbaikan dapat tepat sasaran.
Keterlibatan masyarakat pertama kali diperkenalkan melalui prinsip Greater Involvement of People Living with HIV (GIPA), yang mendorong agar ODHIV diperlakukan setara dan dilibatkan dalam tahap desain dan implementasi program, utamanya untuk program HIV-AIDS. Prinsip GIPA juga menyarankan adanya pemantauan masyarakat terhadap implementasi program, atau yang dikenal sebagai Community-led Monitoring (CLM). Dalam konsep CLM, pemantauan diinisiasi dan dipimpin oleh komunitas guna memastikan agar program yang dilaksanakan oleh pemerintah sejalan dengan kebutuhan mereka.
CLM terhadap program HIV pertama kali dilaksanakan di Indonesia melalui pemantauan stok ARV. Kini, CLM telah berkembang dan dilaksanakan oleh berbagai organisasi yakni Indonesia AIDS Coalition (IAC), Jaringan Indonesia Positif (JIP), serta Joint CLM National Network yang melibatkan 6 jaringan nasional dan dipandu oleh PPH Atmajaya. Sejak bulan Desember 2022 lalu, organisasi-organisasi ini telah bersepakat untuk berkolaborasi dalam satu kelompok yang dinamakan CLM-INA Task Force, agar inisiatif CLM yang dijalankan oleh masing-masing organisasi dapat bersinergi dengan baik, mendukung upaya-upaya promosi semua pihak, serta dapat menyusun strategi advokasi bersama.
Hasil pemantauan berbasis komunitas yang dilakukan melalui beragam inisiatif CLM ini menghasilkan berbagai temuan. Temuan tersebut, yang berupa data yang telah dianalisis, kemudian disampaikan oleh komunitas kepada para pembuat kebijakan. Tujuan dari penyampaian tersebut adalah untuk mendapatkan respons dan mendorong ko-kreasi dalam memecahkan berbagai masalah yang ada oleh para pemangku kepentingan terkait.
Salah satu metode penyampaian temuan dan rekomendasi CLM adalah melalui hearing dengan pemangku kebijakan terkait, yang pada hari Kamis, 13 Juli 2023, kegiatan Dialog Kebijakan Nasional CLM diadakan dengan konsep ’#BerbenahBersama: Membangun Kolaborasi Multipihak untuk Mendorong Ko-Kreasi dalam Program Penanggulangan HIV Nasional.’ Kegiatan ini dilakukan dengan model diskusi panel, yang dimulai dengan presentasi temuan dan rekomendasi CLM dan dilanjutkan dengan sesi tanggapan dari pemangku kepentingan terkait.
Kegiatan ini dibuka oleh Dr.dr. Brian Sriprahastuti, MPH, Tenaga Ahli Utama Kedeputian II Kantor Staf Presiden, dan Krittayawan Boonto, Country Director UNAIDS Indonesia. Keduanya menyampaikan bahwa kerjasama yang baik antara kelompok masyarakat sipil dan pemerintah merupakan salah satu kunci keberhasilan program HIV di sejumlah negara. Mereka juga kembali menegaskan bahwa CLM merupakan upaya untuk memastikan agar program yang menyasar kepada komunitas diimplementasikan dengan optimal dengan adanya umpan balik dari komunitas. Hal ini bukan berarti komunitas menjadi auditor atau penilai. CLM adalah bentuk kerjasama, yang mana komunitas sebagai penerima manfaat memberikan umpan balik demi perbaikan program, dan mendorong kerjasama dalam penyelesaian masalah.
Panel 1 yang mengusung tema ’Menjembatani Kebutuhan dan Ketersediaan dalam Pencegahan dan Testing HIV melalui Kolaborasi Lintas Sektor,’ ditanggapi oleh 3 orang panelis, yaitu dr. Pratono (Timja HIV Kementerian Kesehatan); Haryanto, Spd.MM (Manager Komersial PT Mitra Rajawali Banjaran); dan Husein Habsyi (Vice Director Yayasan Pelita Ilmu), dan dipandu oleh dr. Asti Widihastuti, MHC (UNFPA). Sesuai dengan tema, Panel 1 membahas mengenai capaian akses ke layanan tes HIV, PrEP, dan terkait (papsmear, IMS, TB, kondom & pelicin, KB, dan PPIA) baik bagi populasi kunci maupun masyarakat umum yang masih rendah. Beberapa penyebab yang teridentifikasi adalah rasa tidak membutuhkan, yang terkait dengan kurangnya pengetahuan terkait layanan. Juga masalah akses dan perasaan takut untuk datang ke fasilitas kesehatan. Lebih khusus, akses kelompok muda lebih rendah dibandingkan kelompok dewasa. Permasalahan-permasalahan ini menjadi latar bagi diskusi Panel 1.
Menyarikan pernyataan dari para panelis, diketahui bahwa informasi mengenai PrEP masih belum tersebar luas. Selain itu, jumlah fasilitas kesehatan yang menyediakan layanan PrEP masih sangat terbatas. Penyebaran informasi terkait PrEP, atau secara lebih luas mengenai HIV, menjadi catatan penting dari panel. Selain itu, kolaborasi antara pemerintah, komunitas dan pihak swasta juga perlu untuk diperkuat. Dengan penyebaran informasi secara terus menerus dan penambahan lokasi layanan, diharapkan pengetahuan masyarakat meningkat, stigma terkait tes HIV dan akses ke layanan terkait menurun, dan capaian meningkat. Hal lain yang menjadi catatan adalah perlunya peningkatan pemahaman terkait CLM di tingkat faskes. Utamanya bahwa CLM bukan audit, tetapi pemantauan yang dilakukan dalam rangka memberikan umpan balik. Inti yang hendak disampaikan adalah bahwa posisi dari pemerintah dan komunitas setara, dengan keduanya saling membantu dan mendukung demi perbaikan program.
Dari sisi komunitas, Yayasan Pelita Ilmu (YPI) melakukan kegiatan peningkatan kapasitas petugas lapangan demi memastikan capaian dan meningkatkan kualitas implementasi program. Coaching secara terutama dilakukan terkait dengan pendekatan baru seperti penggunaan Oral Fluid Test dan PrEP. Senada dengan pendapat dari Timja Kementerian Kesehatan, YPI juga mengupayakan penguatan strategi komunikasi. Utamanya untuk materi edukasi publik terkait akses ke layanan, pendekatan baru, serta isu-isu cross-cutting dengan memanfaatkan media sosial. Sementara itu, pihak swasta yang diwakili oleh PT Mitra Rajawali Banjaran menyoroti akses ke kondom, yang masih terhalang oleh stigma negatif. Ke depannya, akses ke kondom harus dinormalisasi, sehingga kondom dapat diakses di banyak tempat secara mudah dan mudah, dan dirasakan kebermanfaatannya baik untuk KB maupun pencegahan infeksi menular seksual dan HIV-AIDS.
Kemudian, Panel 2 mengusung tema ’Mendorong Akses yang Berkesetaraan terhadap Pengobatan, Perawatan, dan Dukungan dengan Transformasi Layanan HIV yang Berorientasi pada Klien,’ ditanggapi oleh 3 orang panelis, yaitu dr. Nida Rohmawati, MPH (Dirjen Kesmas Kementerian Kesehatan); dr. Endang Lukitosari, (Ketua Timja HIV-AIDS & PIMS Kementerian Kesehatan); dan Lutfiyah Hanim (Peneliti TWN/KOM) yang dipandu oleh Adi Nugroho (UNAIDS). Sesuai dengan tema, Panel 2 membahas mengenai pengobatan & perawatan HIV dengan perhatian khusus pada kekosongan logistik ARV, Nevirapine phasing out, dan akses ke layanan terkait (konseling kepatuhan dan pemberian ARV multi-bulan).
Menanggapi permasalahan yang disampaikan, panelis dari Kementerian Kesehatan menyampaikan bahwa proses pengadaan obat, termasuk ARV, dilakukan dengan mekanisme satu pintu dan alokasi diberikan sesuai dengan kebutuhan. Kementerian Kesehatan tidak menerima laporan dari kota/kabupaten terkait kekosongan logistik pada tahun 2022 yang menjadi menarik apabila disandingkan dengan data dari komunitas yang menyampaikan sebaliknya. Terkait hal tersebut, Kementerian Kesehatan menyampaikan beberapa kemungkinan, salah satunya adalah stok ARV tersedia tetapi tidak sampai kepada pengguna akhir. Hal tersebut membutuhkan pengawalan khusus, sehingga ARV dapat sampai kepada ODHIV dan dapat diambil tindakan preventif untuk mencegah terjadinya kekosongan stok.
Sementara, terkait pemberian ARV multi-bulan, panelis menyampaikan bahwa program tersebut sudah berjalan, tetapi tetap harus memperhatikan kesiapan layanan dan kesiapan ODHIV itu sendiri. Terakhir, terkait penggantian regimen ARV, panelis menekankan bahwa pemerintah sedang mengupayakan transisi ke regimen TLD hingga bulan Desember 2023, dan proses transisi ini membutuhkan adanya pendampingan dan pengawasan. Idealnya, regimen baru ini mudah diakses oleh semua ODHIV, termasuk perempuan dan remaja. Lebih lanjut, diupayakan integrasi dengan layanan terkait (mis. Gizi & KIA) dan pelibatan dari pihak swasta dan lembaga pemerintah lain seperti Kementerian Agama dan BKKBN.
Dari sisi komunitas, panelis dari Koalisi Obat Murah (KOM) menyampaikan bahwa akses ke obat-obatan terjangkau amat penting bagi kelompok pasien, termasuk ODHIV. Di sisi lain, akses ke obat terkadang terhalang oleh paten yang membuat harga obat menjadi mahal. Dengan demikian, terdapat tantangan untuk memastikan akses ke obat-obatan terjangkau pada satu sisi dan mendorong inovasi di sisi lain. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah meningkatkan literasi pengobatan bagi kelompok pasien, juga kesadaran terkait pentingnya akses ke obat bagi tenaga kesehatan dan lembaga pemerintah. Pada sesi tanya jawab, peserta menyoroti kendala terkait akses tes viral load dan regimen TLD. Juga menyampaikan pertanyaan terkait proses persalinan bagi perempuan dengan HIV.
Panel terakhir, yakni Panel 3, mengusung tema ’Merespons Isu Kesehatan Mental dan Sinergi Penanganan Isu Kekerasan dalam Respons Penanggulangan HIV,’ yang ditanggapi oleh 3 orang panelis, yakni dr. Yunita Ari Handayani, MKM (Direktorat Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan); Merry Madina (Perencana Ahli Madya Asdep Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan Kementerian PPA); dan dr. Mona Sugianto, M. Psi (AD-Familia) yang dipandu oleh Yuni Asri (UN Women). Sejalan dengan tema, Panel 3 membahas mengenai berbagai bentuk kekerasan yang dialami oleh ODHIV. Juga dampak dari status HIV dan kekerasan terhadap kesehatan jiwa.
Panelis menyampaikan bahwa layanan kesehatan jiwa kini telah ditempatkan bersama dengan layanan kesehatan primer. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yang sesuai dengan siklus hidup, dengan penekanan pada aspek preventif, atau pencegahan, dan promosi. Skrining kekerasan telah dilakukan oleh Kementerian Kesehatan melalui Tim Kerja Kelompok Rentan dan dilaksanakan pada tingkat Puskesmas. Harus diakui bahwa perempuan masih kerap mengalami tindak kekerasan. Data dari survei yang dilakukan oleh Kementerian PPA pada tahun 2021 misalnya, menemukan bahwa 1 dari 5 perempuan usia 15-64 tahun pernah mengalami kasus kekerasan sepanjang hidupnya. Jumlah tersebut meningkat bagi perempuan dengan HIV, yang memiliki kerentanan berlapis. Menanggapi permasalahan tersebut, Kementerian PPA memiliki hotline, kanal laporan SAPA 129, dan sistem informasi SIMFONI-PPA yang dapat diakses oleh masyarakat.
Melengkapi paparan yang disampaikan oleh dua panelis sebelumnya, perwakilan dari AD-Familia menyampaikan bahwa ODHIV merupakan kelompok amat rentan terhadap gangguan kesehatan jiwa. Hal ini tidak lepas dari stigma dan diskriminasi terhadap ODHIV dan bahkan menyasar pada anak-anak. Terdapat kasus saat anak dengan HIV dikucilkan, dirundung, atau bahkan dikeluarkan dari sekolah. Selain lingkungan eksternal, juga terjadi pergumulan batin terkait penerimaan atas status HIV yang dimiliki. Karenanya, diperlukan tidak hanya upaya preventif, tetapi juga kuratif.
Kegiatan berjalan lancar dengan keterlibatan aktif peserta, baik online maupun offline, yang berasal dari beragam latar belakang organisasi. Pada penghujung acara, dengan mengacu kepada hasil diskusi panel, dicatat beberapa poin untuk rencana tindak lanjut, yakni:
- Memastikan adanya mekanisme umpan balik sebagai wadah komunitas untuk dapat memberikan masukan terhadap implementasi program;
- Meningkatkan kolaborasi multi-pihak untuk merespon kebutuhan supply-demand alat pencegahan & tes, termasuk promosi kesehatan & pencegahan HIV (PrEP, kondom, dsb.);
- Melakukan update berkala terkait ketersediaan ARV, pemberian ARV, dan test viral load;
Melakukan follow-up terhadap rencana penyusunan juknis/SOP, khususnya untuk perawatan kelompok muda; - Kolaborasi multi-pihak untuk memastikan adanya integrasi layanan kesehatan mental untuk ODHIV yang diatur dalam regulasi, termasuk memastikan skrining kesehatan mental bagi ODHIV;
- Memastikan layanan kekerasan sensitif terhadap isu HIV dan memastikan layanan HIV melakukan skrining kekerasan secara berkala; serta
- Menyusun juknis terkait kader kesehatan dalam kaitannya dengan KUHP terbaru.
Kolaborasi multi-pihak akan menjadi poin utama dari rencana tindak lanjut ini, yang mana CLM-INA Task Force akan terus memimpin dan mendorong upaya kolaborasi, baik dari sisi pemerintah, sektor swasta, maupun komunitas itu sendiri.