Jakarta, Senin (2/9) – Indonesia AIDS Coalition (IAC) dan Indonesia for Global Justice (IGJ), bersama Koalisi Obat Murah (KOM), mengkritik RUU Paten yang dapat merugikan kelompok pasien dan masyarakat umum, yang saat ini sedang menjalani pembahasan di DPR.
Hal ini disebabkan oleh ketentuan dalam RUU Paten yang mengarah pada perpanjangan masa monopoli paten obat oleh perusahaan farmasi dan pelemahan mekanisme yang dapat digunakan oleh Pemerintah Indonesia untuk mendorong akses ke obat. Padahal, sebagai negara berkembang dengan kebutuhan obat-obatan yang tinggi, Indonesia amat memerlukan berbagai regulasi yang dapat melindungi hak-hak pasien.
Direktur Eksekutif IAC, Aditya Wardhana, menyampaikan bahwa salah satu ketentuan di RUU Paten yang akan memperpanjang monopoli adalah perubahan pada Pasal 4 huruf f. Pasal ini tadinya menjadi ketentuan yang digunakan untuk mencegah penggunaan kedua dari paten obat, atau secondary use of patent, juga paten atas senyawa yang sudah diketahui tanpa adanya peningkatan khasiat yang bermakna. Kedua ketentuan ini melindungi masyarakat dari upaya perpanjangan paten yang kerap dilakukan oleh perusahaan farmasi. Namun, ketentuan-ketentuan ini justru diubah di RUU Paten.
“Pasal 4 huruf f ini tadinya mengecualikan penggunaan baru dari obat yang sudah ada, juga bentuk baru dari senyawa yang sudah diketahui sebelumnya tanpa peningkatan khasiat yang bermakna sebagai invensi. Artinya pendaftaran paten untuk penggunaan baru dari obat yang sudah ada tidak diperbolehkan di dalam UU Paten kita. Namun di dalam RUU baru ini justru hal tersebut diperbolehkan,” kata Aditya di Jakarta, Senin (2/9).
Aditya mencontohkan Sildenafil, yang selain untuk disfungsi ereksi juga dapat digunakan untuk pengobatan hipertensi paru. Dengan perubahan pada Pasal 4 huruf f, maka Sildenafil dapat menerima dua paten untuk dua jenis penyakit, meski obat yang digunakan sama. Hal ini semakin membuka ruang untuk monopoli bagi segelintir perusahaan farmasi.
“Pada masa pandemi COVID-19, kita melihat sendiri bagaimana obat-obatan dengan berbagai peruntukan diuji coba untuk mengobati COVID-19. Jika uji coba berhasil, maka obat tersebut akan didaftarkan paten kedua untuk COVID-19. Padahal, obat itu sebelumnya diperuntukan untuk penyakit lain dan telah habis masa patennya. Praktik ini amat sering dilakukan dan memperpanjang paten atas obat-obatan yang seharusnya patennya sudah habis dan versi generiknya dapat diproduksi,” tambahnya.
Lebih lanjut, Aditya menambahkan bahwa ketentuan Pasal 4 huruf f di UU Paten juga melindungi masyarakat dari paten berkualitas rendah, yang mana banyak paten yang didaftarkan tidak memenuhi syarat kebaruan. Yakni, tanpa peningkatan khasiat dan hanya merupakan modifikasi minor dari senyawa yang telah diketahui. “Perusahaan farmasi kerap kali mendaftarkan paten sekunder, atau paten kedua, dengan memodifikasi obat yang telah ada. Tenofovir, yang digunakan untuk pengobatan HIV misalnya, mengalami perpanjangan paten selama 16 tahun karena adanya paten sekunder. Sebelumnya, Pasal 4 huruf f dari UU Paten melindungi masyarakat dari upaya-upaya monopoli melalui perpanjangan paten seperti ini. Dengan perubahan yang terjadi di RUU, maka akan semakin banyak paten berkualitas rendah yang didaftarkan semata-mata demi melakukan monopoli dan meraih keuntungan sebesar-besarnya dari suatu penyakit,” tambah Aditya di Jakarta, Senin (2/9).
Menambah penjelasan tersebut, Peneliti Senior IGJ, Lutfiyah Hanim juga mengungkapkan bahwa Pasal 4 huruf f ini juga dapat digunakan masyarakat untuk melakukan upaya banding paten apabila terdapat paten yang dinilai tidak layak untuk diberikan. “Masyarakat sipil dapat mengajukan permohonan banding atas pemberian paten terhadap obat-obatan yang dinilai tidak memenuhi syarat, sebagaimana dengan yang tertulis pada Pasal 4 huruf f di UU Paten. Jika pasal ini diubah, maka akan ada semakin banyak paten obat-obatan berkualitas rendah yang akan merugikan masyarakat.”
Koordinator Program Isu Kesehatan IGJ, sekaligus anggota KOM, Agung Prakoso, menduga bahwa pasal ini disusupkan untuk kepentingan monopoli perusahaan farmasi. “Pemerintah, terkhusus Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, jangan berorientasi untuk menambah jumlah paten sebanyak mungkin yang sarat kepentingan bisnis, karena terdapat kelompok pasien yang akan terdampak oleh berbagai ketentuan di RUU Paten. Perubahan pada Pasal 4 huruf f ini merupakan suatu kemunduran, yang melanggengkan monopoli dan menghambat akses masyarakat ke obat-obatan. Kami mendesak agar ketentuan di Pasal 4 huruf f dikembalikan ke ketentuan sebelumnya di UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten.”
Narahubung:
Agung Prakoso, Program Officer, Indonesia for Global Justice
E: agung.prakoso@igj.or.id
P: +6285788730007
Budi Larasati, Project Officer, Indonesia AIDS Coalition
E: blarasati@iac.or.id
P: +6287777494801
Tentang Indonesia for Global Justice:
Indonesia for Global Justice adalah OMS yang berfokus pada isu perdagangan bebas dan dampaknya kepada masyarakat, termasuk pada sektor kesehatan. Selengkapnya di: igj.or.id
Tentang Indonesia AIDS Coalition:
Indonesia AIDS Coalition (IAC) adalah organisasi berbasis komunitas yang berkontribusi pada upaya untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat dalam program penanggulangan HIV-AIDS nasional melalui kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan. Selengkapnya di: iac.or.id/id