Paten memiliki dampak besar bagi akses masyarakat terhadap obat. Pada satu sisi, paten memberikan kesempatan bagi perusahaan selaku inventor untuk mendapat keuntungan dari investasi dan mendapatkan kembali biaya yang dikeluarkan untuk melakukan riset dan pengembangan awal. Dengan perlindungan paten yang diberikan sebagai ganti dari pengungkapan inovasi ke publik, diharapkan masyarakat akan terdorong untuk melakukan inovasi. Namun di sisi lain, terdapat kekhawatiran bahwa demi mendapat keuntungan dari perlindungan paten tersebut, akan terdapat pihak-pihak yang mematenkan produk atau proses dengan tidak semestinya, dalam artian mematenkan produk atau proses yang sebetulnya tidak layak untuk mendapatkan paten ataupun memanfaatkan ketentuan paten sedemikian rupa untuk memperpanjang masa perlindungan paten. Praktik-praktik inilah yang kemudian merugikan masyarakat, utamanya dalam konteks paten obat, yang menyangkut nyawa manusia.
Dengan pertimbangan bahwa paten tidak semestinya menghalangi akses masyarakat terhadap obat, dunia internasional mengenal apa yang disebut sebagai Fleksibilitas TRIPS, atau TRIPS Flexibility. Fleksibilitas TRIPS mengacu pada serangkaian pengecualian dan mekanisme yang diberikan kepada anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dalam Perjanjian TRIPS (Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights) untuk mengatur dan mengelola HKI (Hak Kekayaan Intelektual). Hal ini dimaksudkan agar memungkinkan negara-negara anggota untuk memiliki keleluasaan dalam menerapkan dan menyesuaikan undang-undang HKI sesuai dengan kebutuhan nasional mereka.
Penggunaan fleksibilitas TRIPS, seperti yang direkomendasikan oleh High-Level Panel PBB tentang akses ke obat, menjadi komponen penting untuk meningkatkan akses ke obat-obatan esensial seperti HIV, TB, dan Hepatitis C, selain juga untuk penyakit lain. Salah satu bentuk fleksibilitas TRIPS yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan akses ke obat adalah Lisensi Wajib.
Lisensi wajib adalah lisensi untuk melaksanakan paten yang diberikan berdasarkan Keputusan Menteri atas dasar permohonan. Izin tersebut kemudian diberikan oleh pemerintah kepada pihak lain untuk memproduksi, menggunakan, atau menjual produk atau teknologi yang telah dipatenkan tanpa persetujuan dari pemegang paten. Mekanisme lisensi wajib diterapkan oleh pemerintah sebagai respons terhadap kepentingan umum, terutama dalam konteks akses terhadap obat-obatan dan produk kesehatan yang dianggap penting bagi kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, lisensi wajib dapat menjadi alat yang efektif untuk memperluas akses ke obat-obatan terjangkau.
Demi memperkenalkan mekanisme lisensi wajib kepada kelompok pasien, maka pada tanggal 10-12 September 2023, Indonesia AIDS Coalition (IAC) melaksanakan kegiatan ”Lokakarya Paten dan Fleksibilitas TRIPS (Lisensi Wajib) untuk Memperluas Akses ke Obat Terjangkau di Indonesia.” Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan lokakarya dan capacity building IAC yang membahas mengenai dampak dari perlindungan HKI terhadap akses ke obat-obatan.
Kegiatan ini mengundang narasumber yang berasal dari berbagai latar belakang, baik dari lembaga pemerintah, praktisi hukum/dosen universitas, maupun kelompok masyarakat sipil. Dari pembahasan narasumber, diketahui bahwa lisensi wajib adalah bagian dari fleksibilitas TRIPS. Dalam konteks akses ke obat-obatan, mekanisme tersebut memungkinkan pihak ketiga untuk membuat atau mengimpor versi generik dari produk yang dipatenkan tanpa minta izin dari pemilik paten, dengan mengacu pada syarat dan prosedur tertentu seperti mengatasi kondisi darurat, untuk keperluan non-komersial, dsb. Lisensi wajib dapat digunakan untuk semua jenis obat, tidak terbatas pada HIV-AIDS, TB, ataupun Malaria. Mengacu pada sejarah, yakni pada periode 1995-2014, diketahui bahwa telah terdapat 108 upaya lisensi wajib yang dilakukan oleh pemerintah berbagai negara untuk beragam jenis obat. Selain untuk mendorong akses ke obat, lisensi wajib juga digunakan sebagai alat negosiasi untuk mendapatkan diskon ataupun lisensi sukarela dari perusahaan farmasi.
Pada satu sisi, lisensi wajib terbukti dapat menurunkan harga obat dan meningkatkan akses masyarakat ke obat-obatan terjangkau. Akan tetapi di sisi lain, terdapat sejumlah kendala bagi implementasi dari lisensi wajib, yaitu:
- Beberapa negara tidak memiliki dasar hukum yang mendukung;
- Beberapa negara tidak memiliki kapasitas untuk melakukan produksi domestik, sementara prosedur untuk melakukan impor dalam Perjanjian TRIPS rumit;
- Tekanan politik dari negara maju & ancaman dari perusahaan farmasi; serta
- Ketentuan TRIPS Plus yang terkandung dalam UU sejumlah negara ataupun naskah Perjanjian Perdagangan Bebas.
Indonesia sendiri telah melakukan beberapa kali upaya lisensi wajib untuk kepentingan pemerintah (government use) untuk obat-obatan HIV-AIDS, Hepatitis C, dan COVID-19. Yakni untuk Nevirapine, Lamivudine, Efavirenz, Abacavir, Efavirenz/Emtricitabine/Tenofovir, Lopinavir/Ritonavir, Tenofovir, Tenofovir/Emtricitabine, Remdesivir, dan Favipiravir untuk periode 2004-2021. Namun dalam perjalanannya, Indonesia menghadapi sejumlah kendala, yakni:
- Produksi farmasi Indonesia masih bergantung pada impor bahan baku; dan
- Revisi UU Paten sebagai turunan dari Omnibus Law yang membatasi penggunaan dari lisensi wajib.
Berbagai tantangan tersebut membuat mengapa upaya advokasi untuk mendorong akses ke obat-obatan yang terjangkau harus terus dilakukan. Masyarakat sipil dapat berkontribusi dengan berbagai cara, baik dengan mendorong pemerintah untuk melakukan lisensi wajib, menyoroti berbagai kendala yang dihadapi oleh negara saat hendak mengeluarkan lisensi wajib (mis. lobi dari perusahaan farmasi, pemberitaan buruk oleh negara asing, atau tekanan diplomatik /sanksi dagang), maupun menyoroti kelemahan dalam sistem paten nasional dan dampak buruk dari Perjanjian Perdagangan Bebas. Obat adalah kebutuhan, yang mana ketersediaannya merupakan sebuah hak. Tidak hanya tersedia (available), tetapi obat tersebut juga harus terjangkau (affordable) dan dapat diterima (acceptable). Tidak sepatutnya perlindungan HKI menjadi penghalang bagi akses masyarakat ke obat-obatan.
Kegiatan lokakarya berjalan lancar dengan partisipasi aktif dari peserta yang berasal dari beragam isu kesehatan, yakni HIV-AIDS, TB dan TB RO, Hepatitis C, ginjal kronis, dan kesehatan jiwa. Sebagai tindak lanjut dari kegiatan lokakarya, akan dilakukan FGD dengan masing-masing kelompok pasien untuk penyusunan policy brief yang nantinya akan digunakan sebagai bahan advokasi untuk melakukan audiensi terbatas dengan pemangku kepentingan.