Indonesia memiliki angka kasus HIV-positif yang terus naik tiap tahunnya. Kenaikan angka kasus ini diringi pula oleh stigma dan diskriminasi yang masih marak terjadi. Tercatat 640.000 orang hidup dengan HIV di Indonesia. Namun, hanya sekitar 124.813 dari total tersebut, atau sekitar 19,49%, yang mendapatkan akses terapi Anti-Retroviral (ARV).
Angka aksesbilitas terapi ARV di Indonesia pun termasuk yang paling rendah dibanding yang lainnya. Padahal, sejak tahun 2004 terapi ARV sudah disubsidi penuh oleh pemerintah. Rasionalisasi harga ARV sudah diusahakan sejak tahun 2016 dengan melibatkan pihak stakeholder. Kurangnya efisiensi dalam sistem pengadaan menyebabkan harga ARV di Indonesia masih sangat mahal.
Dalam rapat MoH, harga ARV sudah disetujui 48% lebih murah dari harga biasanya. Jika diimplementasikan dengan baik, pemerintah diestimasikan dapat menghemat 8 milliar US Dollar dalam setahun dimana angka ini dapat menjamin penambahan 45.482 ODHA mendapatkan terapi ARV dalam regimen yang sama.
satu Respon
Dear all,
Semoga INA tetap berkomitmen untuk mengentaskan penyebaran HIV(+) melalui tersupresinya virus pada pasien HIV(+) melalui keteraturan serta kesinambungan pemakaian ARV.
Namun bagaimana peran produsen swasta ARV untuk ketersediaan ARV di Indonesia? Apakah ada aturan yang mengatur peredaran obat ARV di INA yang mencakup kebutuhan akses bagi WNI dan WNA? serta aturan yang mengatur bahwa obat ARV boleh/tidak boleh dijual ke reguler market?
Hal ini berhubungan adanya kebutuhan ARV di luar program pemerintah dan bagi pasien yang ingin privasinya tetap terjaga dengan membeli obat ARV “out of pocket”
terima kasih dan salam sehat