Setelah terpilih menjadi salah satu Principal Recipient (PR) Komunitas bagi program the Global Fund-ATM, Indonesia AIDS Coalition (IAC) melaksanakan seleksi kemitraan untuk mendapatkan Sub Recipient (SR) yang akan mengimplementasikan program-program pada periode waktu tahun 2024 hingga 2026. Salah satunya adalah Penanggulangan HIV pada Populasi Pekerja Seks Perempuan (FSW), yang mana IAC memiliki mitra 3 SR dan 41 SSR sebagai pelaksana.
Sistem pencatatan dan pelaporan yang mumpuni merupakan komponen penting untuk mendukung penyediaan, analisis, dan penggunaan data yang dapat mendorong pencapaian target global Triple 95s. Namun, data program HIV Indonesia disajikan secara agregat dibandingkan analisis bidang intervensi tertentu, yang menyulitkan proses identifikasi tantangan dan kebutuhan daerah.
Menanggapi hal tersebut, IAC menciptakan sistem untuk menangkap data spesifik kabupaten dan melakukan analisis agar menghasilkan pendekatan yang disesuaikan dengan kebutuhan mitra. Pada tahun 2024, IAC melalui mitra pelaksana telah meraih capaian sebagai berikut:
- 146 PSP mendapatkan edukasi dan paket pencegahan;
- 187 PSP tercatat telah melakukan tes untuk mengetahui status HIV;
- 313 PSP menjalani screening HIV berbasis komunitas;
- 475 temuan kasus positif pada PSP; serta
- 146 PSP menjalani screening kekerasan dari pasangan intim.
Adapun untuk program Penguatan Sistem Komunitas dan Pemenuhan HAM bagi Populasi Kunci, atau CSS-HR, pada tahun 2024 tercatat:
- 1,042 dokumentasi kasus yang dilaporkan oleh KP dan ODHIV dan
- 567 kasus yang dilanjutkan ke Lembaga Bantuan Hukum.
Dalam rangka meningkatan efektivitas program maka diperlukan Pelatihan M&E untuk membantu organisasi mitra memahami apa yang berhasil dan tidak dalam program mereka, sehingga bisa melakukan penyesuaian yang diperlukan demi mencapai tujuan. Selain itu dengan pemahaman yang baik tentang M&E, staf dapat menggunakan data untuk membuat keputusan yang lebih informasional dan strategis, bukan sekadar berdasarkan asumsi dan menciptakan profesional yang lebih terampil dan berpengetahuan dalam bidang M&E, yang bermanfaat bagi organisasi dalam jangka panjang.
Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 10-13 Maret 2025 di Kota Yogyakarta, dengan mengundang mitra SR dan SSR IAC. Pelatihan dibuka oleh Direktur Eksekutif IAC, yang menegaskan bahwa peran M&E tidak seharusnya bersifat proyek semata, tetapi menjadi instrumen organisasi dalam mencapai visi dan misi melalui umpan balik berkelanjutan. Dengan tantangan pendanaan program HIV yang semakin besar, M&E menjadi alat tawar penting bagi organisasi lokal untuk meyakinkan donor bahwa pelaksanaan program dilakukan secara sistematis dan akuntabel.
Hari pertama diisi dengan pengenalan garis besar pelatihan selama empat hari, meliputi analisis data, strategi advokasi berbasis data, penyusunan rencana M&E, dan verifikasi sistem R-CAD. Peserta juga diperkenalkan dengan pembaruan juknis dan integrasi program FSW dan CSS-HR. Peran penting Paralegal dan Advocacy Officer juga dibahas, termasuk upaya advokasi untuk pemenuhan hak-hak populasi kunci.
Hari kedua berfokus pada pemahaman dasar tentang data, mulai dari jenis, karakteristik, hingga proses pengolahan dan penyajiannya. Peserta juga diperkenalkan dengan konsep Triple 95s yang menjadi target global penanggulangan HIV, juga tantangan yang masih dihadapi seperti stigma, ketimpangan akses layanan, dan pendanaan domestik yang belum optimal.
Sesi monitoring dan evaluasi menjelaskan konsep dasar M&E, termasuk perbedaan fungsi monitoring dan evaluasi, rantai hasil (input, aktivitas, output, outcome, dan impact), serta bagaimana indikator dirancang secara SMART (Spesifik, Measurable, Accurate, Realistic, dan Timely). Penggunaan data tidak hanya untuk pemantauan, tetapi juga sebagai dasar dalam pengambilan keputusan, pelaporan ke donor, hingga advokasi di tingkat daerah.
Hari ketiga diisi dengan praktik verifikasi data bulan Januari–Februari 2025 dalam kelompok regional, sekaligus menyusun rencana tindak lanjut masing-masing SSR. Peserta dibimbing untuk menggunakan sistem R-CAD secara tepat dalam proses verifikasi dan pelaporan.
Hari terakhir, Program Manager IAC menyampaikan hasil refleksi pelatihan, termasuk perbaikan definisi operasional kebutuhan alat pencegahan, pentingnya perlindungan data pribadi, serta dorongan perubahan perilaku dalam input data. Ia menekankan bahwa peran Monev SSR seharusnya sebagai verifikator dan pengambil keputusan berbasis data, bukan hanya pengoreksi data.
Dari perbandingan antara hasil pre-test dan post-test diketahui bahwa secara umum terdapat peningkatan pemahaman peserta Pelatihan M&E. Kegiatan ini menegaskan pentingnya sinergi antara pengumpulan data, analisis, dan advokasi berbasis bukti. Ke depan, data yang akurat dan sistem M&E yang kuat akan menjadi tulang punggung efektivitas program HIV di tingkat lokal hingga nasional.